RuBI Sumba: Di Saat Keluarga Baru Terbentuk

Setelah pulau Rote Ndao, pulau Natuna dan pulau Sabu, kini giliran pulau Sumba yang akan dikunjungi tim Ruang Berbagi Ilmu (RuBI). Bukan RuBI namanya kalau para relawan berguguran satu per satu menjelang keberangkatan karena berbagai kendala. Dari sekian banyak tim yang berangkat ke daerah-daerah yang berbeda, tim Sumba termasuk tim yang aman karena tidak terlalu banyak yang mundur. Sumba yang kami tuju bukanlah Sumba Timur yang menjadi objek wisata banyak orang, melainkan di Weetabula, Sumba Barat Daya. Selain mengecek materi-materi yang akan dibawa, mengecek cuaca di sana juga penting. Karena aku pernah ke pulau Rote Ndao sebelumnya, jadi kebayang lah 28-31 derajat Celcius ala Sumba itu gimana. Untung ada handuk putih Good Morning yang setia dalam tas untuk melindungi kepala dari panasnya sinar matahari dan menghapus keringat yang menetes di dahi dan leher (Alhamdulillah inget lagi pakai make up jadi ngga tersapu bersih di saat mengelap keringat di muka). 

Persiapan kami kali ini benar-benar matang karena banyak materi yang akan disampaikan dan banyak perlangkapan yang harus dibawa. Sayangnya di RuBI kali ini aku kembali menjadi fotografer, bukan sebagai pemateri di RuBI Rote Ndao, padahal kangen banget ngasih materi yang berhubungan dengan literasi. 



Tidak hanya mereka yang meninggalkan pekerjaannya di kantor, aku pun bolos beberapa kelas karena sudah berkomitken untuk mengikuti kegiatan ini setiap tahunnya, selain karena suka mengikuti kegiatan relawan, aku ingin mengelilingi Indonesia melalui kegiatan yang bermanfaat untuk orang banyak, tidak hanya untuk relawan-relawan ini sendiri. 

Apa sih yang kamu dapat dari kegiatan relawan? Padahal semuanya (dari biaya transportasi hingga biaya akomodasi) kamu tanggung sendiri?

Selain pengalaman, berkenalan dengan orang baru untuk sebuah koneksi itu penting. Untuk terlibat dalam sebuah kegiatan relawan di luar kota juga dibutuhkan pengalaman yang cukup. Mulai dari mengatur waktu, menjaga kesehatan, dan juga menjalankan tugas sesuai peran sebagaimana mestinya. 

Perjalanan kami dari Jakarta menuju Tambolaka terbilang mudah karena dapat diakses melalui udara, tidak harus lewat laut. Total perjalanan selama 6 jam membuat kami lupa akan rasa kantuk, lelah dan panasnya Sumba karena kami melalui perjalanan ini bersama-sama, tidak sendirian. Memang, kami semua adalah individu-individu yang berbeda tapi kami di sini berkumpul untuk satu tujuan, visi dan misi di bidang pendidikan, khususnya pendidikan di daerah yang lebih membutuhkan.

Dari Jakarta ke Tambolaka, kami harus transit dulu di Denpasar selama 2-3 jam, dan beberapa dari kami mengambil jam penerbangan yang berbeda meskipun kami berangkat dari Denpasar ke Tambolaka di jam penerbangan yang sama. Mungkin pilot dan co-pilotnya agak mager untuk dijemput lebih awal *ECIEEEEE, yang pernah pacaran sama pramugara. Apal bener keknya*


Dari 25 relawan terpilih (termasuk aku), yang jadi berangkat sebanyak 18 (termasuk relawan yang berdomisili di Sumba). Alasan cuti tidak diterima pak atau bu boss atau ada pekerjaan mendadak yang tidak bisa ditinggalkan sudah menjadi langganan batalnya keberangkatan. Yaaah yang namanya rencana, bisa batal kapan saja.

Berangkat dengan penerbangan pagi bukanlah hambatan bagi kami, selain karena kami semua antusias dengan RuBI Sumba, harga tiket yang lumayan menguras isi tabungan menjadi salah satu alasan kami tapi apa yang kami dapat dari RuBI Sumba, harganya melebihi uang yang kami keluarkan untuk semuanya karena jauh lebih berharga dan tak ternilai, bahkan cerita yang kami tulis bisa kami bagi kapan saja dan kepada siapa aja. Entah sebagai memori yang layak untuk dibagi, atau sebagai motivasi untuk orang lain agar hatinya tergerak untuk membantu orang lain tanpa mengharap kembali.

Tiba di Tambolaka, disambut dengan udara gerah mepet ke panas, gerah yang berbeda dari Jakarta. Di saat seperti inilah kami tidak boleh manja, semua bertanggungjawab atas barang masing-masing, seberat apapun, sebanyak apapun. Dan untuk moda transportasi dari bandara ke lokasi penginapan, sebagian besar memilih naik...




Mobil pickup! Kurang lebih selama 30 menit yang kami butuhkan untuk duduk tanpa alas yang membuat pantat kami tepos diiringi dengan melihat "kosong" nya Weetabula. Pemandangan yang sekiranya hanya bisa aku lihat saat mengikuti kegiatan relawan di luar pulau Jawa. Rasanya melegakan, bukan hanya dari udara tapi juga dari pandang mata, dan aku langsung merasa enggan kembali ke Jakarta karena berada di tempat seperti itulah yang sedang aku butuhkan sekarang.

Dari sisi fasilitas, bisa dibilang di RuBI Sumba adalah RuBI yang termewah dari semua RuBI yang pernah aku ikuti. Lokasi pelaksanaan RuBI berada dalam satu gedung dengan tempat kami menginap, yaitu di rumah retret St. Alfonsus di Weetebula. Aku memilih kamar yang tidak menggunakan AC maupun kipas angin karena udaranya masih terbilang sejuk di siang maupun di malam hari, sampai suatu malam, udara jauh lebih panas dari biasanya. Setelah terbangun di tengah malam karena kepanasan, aku melihat teman sekamarku menutup tubuhnya dengan selimut, seolah udara cukup membuatnya kedinginan dan malam itu membuatku terjaga sampai mendengar adzan subuh meskipun sayup-sayup. Nampaknya ke manapun aku pergi, pasti mengalami kejadian mistis yang bisa membuatku "biasa aja" atau aku ingat sampai kapan pun.






Seperti yang pernah aku tulis di beberapa post sebelumnya, traveling rame-rame menjadi tantangan sendiri buatku karena harus menyesuaikan satu-dua hal dengan yang lain. Aku sempat merasa tidak nyaman dengan keramaian dan kegaduhan yang ada karena aku terbiasa traveling sendirian, tapi aku sadar betul, kalau aku menyendiri, aku bakal melewatkan banyak momen yang seru bersama-sama. Salah satunya ya seperti ini. Kapan lagi aku merasa ngga peduli rambutku berantakan karena angin yang kencang dan bisa foto bareng teman-teman sepenanggungan seperti ini? Menjadi relawan itu menyenangkan, sangat menyenangkan. Bisa ke tempat yang belum pernah kamu kunjungi sebelumnya dan bertemu dengan orang-orang baru yang satu visi dan misi seperti mereka ini.


Comments

Popular posts from this blog

What If We're Dating

Toleransi, Hati Nurani dan Akal Sehat.

Menantang Raga Mungil untuk Coldplay di Sydney