Untuk Aku dan Kamu yang Akan atau Sudah Berusia 30 Tahun

Ternyata menyenangkan, bisa keluar dari kota Jakarta untuk sementara waktu. Makanan murah dan banyak coffee shop yang ngga jauh dari kosan, serta tempat wisata yang bisa aku kunjungi di hari kerja membuatku merasa sedikit tenang dan bebas. Senang bisa ketemu teman-teman yang tinggal di sini, kami bertukar cerita dan melepas rindu yang tertahan sekian lamanya. Ternyata keluar dari zona nyaman memang yang aku butuhkan untuk sementara waktu sebelum rutinitas kembali menyerang.

Hhhmmm… apa yang bisa aku katakan lagi tentang Jogjakarta?

Kenangan buruk di Jogja? Sejauh ini tidak ada, menemukan cinta juga belom *AZEGH*

Oh ya, kemarin ada yang minta aku untuk nulis tentang ini



Buatku, titik balik dalam hidup seseorang, entah itu laki-laki atau perempuan ada di usia 25 atau biasa disebut Quarter Life Crisis. Banyak yang bilang itu mitos belaka, tapi buatku, itu nyata. Kenapa bisa begitu? Usia 25 adalah usia di mana laki-laki dan perempuan mulai atau sudah memikirkan matang-matang soal karir, aset hidup (baca: tabungan jangka panjang) dan juga jodoh atau percintaan.  Aku berasal dari keluarga Jawa, yang mana buat mereka usia 25 tahun adalah usia yang sudah sangat matang untuk menikah, bahkan untuk perempuan, usia segitu bisa dibilang "cukup tua" untuk menikah. The pressure was real ketika keluargaku menilai demikian, tapi soal jodoh ya aku sendiri serahkan ke Tuhan, daripada menikah demi status dan gengsi tanpa memikirkan kesiapan dan kematangan diri dari sisi fisik, mental maupun finansial, itu sama saja bunuh diri karena bisa saja kamu mengalami kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk apapun. 

Menurutku, entah kamu masih dibiayai orang tua atau sudah bekerja secara mapan, menabung adalah hal yang sangat penting, apalagi kalau kamu termasuk orang yang idealis, visioner dan punya rencana jangka panjang seperti akyuuuuuh.

Aku lahir dan besar di keluarga yang serba cukup. Segala macam dibiayain dan dibeliin bapak, mulai dari kebutuhan dan keinginan karena menurut bapak, selama aku belum menikah, aku masih tanggung jawab bapak dan aku dididik untuk ngga minta dibayarin oleh orang lain, bahkan dibayarin makan sama pacar sekalipun, dalam hal kencan pun beliau memintaku untuk patungan, split bill atau gantian yang bayar dengan pacar, karena jika segala macam aku dibayari pacar kahawatir nantinya bakal perhitungan dan itu sangat masuk akal buatku. Karena hal itu, bukan berarti aku bisa minta segala macam ke beliau karena aku tau kemampuan beliau dalam mencari uang juga terbatas, dan bukan karena itu juga aku menunda menikah. Aku menabung gila-gilaan mulai usia 27 tahun, entah itu untuk traveling, belanja make up, baju atau sekedar makan enak. Aku sendiri juga masih bekerja sebagai freelance fotografer meskipun penghasilannya ngga seberapa dan sehari-hari masih diisi dengan kuliah.

Perempuan yang akan atau sudah menginjak usia 30 tahun tapi masih single tapi happy dan pekerjaan juga mapan pasti bakal tetap dinilai ada yang salah karena belum menikah. Menikah adalah pilihan, bukan karena paksaan budaya dan adat. Beberapa dari kalian pasti ada yang sedang berjuang mati-matian untuk mempertahankan hubungan beda suku bangsa bahkan beda agama. Girls, I've been there and done that. Ketemu dan cocok yang seagama, malah putus karena perbedaan budaya. Ketemu dan cocok sama yang sebudaya, eeeeeh beda agama. Ketemu dan cocok sama yang beda budaya tapi beda agama, pada akhirnya restu orang tualah yang berkata lain. Kesal? Sudah pasti. Apalagi beberapa bulan setelah itu orang tua kembali nanya, "Nuri, kamu belom punya pacar baru?" atau "Nuri, kamu masih pengin nikah khan?".

YA MENURUT NGANA AJAAAAH?!

Kalau ngga dipikir dalam-dalam, pertanyaan-pertanyaan itu sangatlah mengganggu. Tetapi jika dilihat lagi, aku menjadi paham bagaimana perasaan bapak ibu melihat anaknya yang menganggap enteng soal menikah dan lebih mengutamakan pendidikan serta traveling, menikah tidak menjadi prioritas lagi buatku. 

Aku punya kakak dan adik laki-laki, ya, aku anak tengah dan perempuan satu-satunya. Setelah kakakku punya anak, aku sempat berpikir bahwa orang tuaku sudah merasa lengkap karena punya cucu (sampai tahun 2018 ini, kakakku udah punya 3 anak). Setelah ngobrol banyak dengan beberapa teman dekat (yang mana juga sebagai bentuk perlawananku terhadap panic attack yang sering aku alami belakangan ini, yaitu dengan kembali bersosialisasi), akhirnya aku benar-benar tahu dan sadar akan maksud dari pertanyaan dan harapan bapak dan ibuku tadi. Aku anak perempuan satu-satunya di keluarga, dan akan menjadi satu-satunya momen di mana bapakku nanti akan menjadi wali nikah dan mengucapkan "Saya nikahkan dan kawinkan anak saya, Nuri Arunbiarti binti....". Yap, kata "binti" akan diucapkan oleh bapakku hanya sekali dalam seumur hidup.

Memang, terkadang kita merasa hidup kita dikendalikan oleh orang tua demi kebahagiaan mereka tanpa memikirkan kebahagiaan kita sama sekali. Di usia 28 tahun, aku mengungkapkan keinginanku ke bapak dan ibu bahwa aku ingin meneruskan pendidikan, kembali traveling setelah lulus dan mencari kerja di luar negeri. Mereka kecewa? Mungkin. Tapi semakin dewasa kami, terutama aku dan bapak, kami saling mengerti satu sama lain. Kami mencoba untuk bicara dari hati ke hati. Akhirnya bapak mengerti, bahwa aku masih bisa bahagia dengan mengejar cita-cita dan mendapatkan impian yang aku tanam dalam hati dan niat sejak masih di bangku SMA. 

Menurut obrolanku dengan teman-temen dekat, hidup di usia menjelang atau sudah menginjak usia 30 tahun itu semua tentang komitmen dan kompromi, entah dengan seseorang atau dengan sesuatu. Kalau soal pasangan, aku selalu kembali lagi ke ucapan teman baikku, Christopher Tobing

"Jangan pacaran/menikah cuma karena loe pengin seseorang mengisi kekosongan yang loe punya, tapi karena loe dan dia ingin saling memberi apa yang kalian punya. Dan pastikan loe sendiri udah bahagia, karena kalo loe bahagia, loe tetep bahagia meskipun ngga ada dia"

Perasaan dan pikiranku tertampar keras karena ucapan dia benar adanya. Sebelum aku mendengar kata-kata itu dari mulut dia, aku merasa masih berat untuk merelakan hubungan paling sempurna dan paling nyaman yang aku pernah punya meskipun berakhirnya hubungan itu menjadi pemicu terbesar dari anxiety problem yang aku punya selama ini. Beban hidup langsung terangkat dari kedua bahu, rasa berat langsung hilang dari dalam hati. Aku mencoba melihat kembali dua tahun belakang di mana seorang Nuri bisa bahagia dengan keadaan yang dialami dan dengan apa yang dimiliki. Sampai tahun 2017 aku masih bisa bahagia karena tau bagaimana mendapatkan dan mempertahankannya, yaitu dengan traveling dan fotografi. Menjadi orang yang paling bahagia di dunia karena sudah bertemu dengan orang yang sangat nyaman, dan mendadak sedih dan ingin bunuh diri karena orang itu pergi dengan keadaan yang sangat tidak adil itu bukan aku, that's not the best nor the worst version of me

Setelah mendengar ucapan Christopher itulah, aku sangat sadar bahwa selama dua tahun ke belakang dan sebelum hubungan sempurna versiku itu kandas, aku bahagia karena "apa", bukan karena "siapa".

Di saat aku menulis ini, aku masih berjuang melawan anxiety problem yang masih mengikutiku kemana-mana. Aku berusaha keras menumbuhkan niat untuk kembali hunting foto seperti dulu, karena buatku fotografi adalah ajang emotional release. Jangan meremehkan hobby yang kamu punya, entah itu satu atau lebih dari dua, karena suatu hari hobbymu akan menyelamatkanmu dari patah hati, keputusasaan, bahkan pikiran dari bosan hidup.

Comments

Popular posts from this blog

Kembali Menjadi Travel Photographer

Bhutan Expedition: Ta Dzong

Summer School di SOAS, SSV dan Catatan Kecilnya.