Sebulan di Yogyakarta: Menjauh dari Jakarta demi Kewarasan

Kembali menjadi mahasiswa dan juga bekerja sebagai fotografer lepas (freelance photographer) ada enak dan ngganya.

Enaknya:
  • Waktu kuliah fleksibel, saking fleksibelnya dalam seminggu bisa ngga ada kuliah karena jadwal dosen yang berantakan.
  • Waktu luang lebih banyak karena dalam sehari bisa cuma dikasih 3 SKS
  • Bisa bangun siang kalau kuliah dimulai sekitar jam 1 atau 2 siang
  • Pengetahuan bertambah, begitu juga dengan teman dan koneksi
  • Libur semester gasal lebih dari dua minggu, libur semester genap lebih dari dua bulan
  • Bebas nongkrong pas weekdays, ngga usah nunggu weekend untuk nongkrong hore

Ngga enaknya:
  • Keluar duit lagi setiap semester
  • Buang waktu, uang dan tenaga kalau udah di tengah jalan baru dapat kabar dosennya ngga bisa masuk
  • Deadline ngga mundur meskipun dosen ngga masuk kuliah dan menyebabkan pembahasan materi jadi terlambat atau jadwal makin berantakan. Satu semester ada lima mata kuliah. Nah sekarang tau khan kenapa aku bisa sampe punya anxiety attack?
  • Nongkrong sih bebas, bisa pas weekdays, nah kalo temen-temen nongkrong kebanyakan adalah yang kerja kantoran, mau ngga mau nunggu mereka bubar kantor atau weekend. MAMAM TUH MACET!

Lalu, apa hubungannya poin-poin di atas dengan judul tulisan ini? Jadi gini... *benerin posisi duduk*. Setelah lulus kuliah S1, aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan traveling, baca buku sambil ngopi dan mencari uang jajan tambahan dengan menjadi fotografer lepas karena ibuku pensiun dini dan beliau butuh salah satu anaknya untuk nemenin kemana-mana, yaitu aku yang banyak nganggurnya. Karena orang tuaku termasuk liberal dan demokratis *ecieeeeeh*, aku diberi kebebasan untuk menghabiskan waktu dengan caraku sendiri asalkan pulang dalam keadaan sober alias ngga mabuk berat. Sebagai pengangguran hore alias kerjanya akhir pekan doank *saat itu*, aku sering jadi partner makan siang teman-temanku yang bekerja kantoran selama bertahun-tahun. Berbagai macam obrolan kami bahas meskipun kami hanya punya waktu satu jam. Biasanya yang aku lakukan adalah menentukan di mana kami mau makan siang, tanya ke teman dia mau makan apa biar bisa aku pesankan jadi dia tinggal makan begitu dia datang dan itu akan menghemat waktunya. Kalimat pembuka yang sering aku ucapkan ke temanku adalah, "how's work? / Bagaimana kerjaan?". Ngga sedikit yang mengeluh dan berujung pengin resign. 

Sebagian besar dari teman-temanku adalah laki-laki. Mereka bekerja selama bertahun-tahun, dengan keluhan yang menumpuk serta jatah cuti yang masih utuh, dilakukan karena ingin menabung tapi  mereka lupa untuk beristirahat sejenak dari pekerjaan yang membabi-buta *kasih tongkat jalan ke babinya* alias liburan.

"Loe mah enak, Ri. Ngga kerja. Ngga ada tanggungan, segala macem masih dibiayain", sebagian besar bilang seperti itu ke aku.

"Emang sih ngga ada tanggungan karena gue masih tinggal ama orang tua, gue melakukan apa yang pengin gue lakukan karena mumpung masih bisa dan masih punya waktu, daripada nyesel di hari tua", jawabku. 

Tidak sedikit pula orang yang memberi komentar kalau aku traveling karena aku berasal dari keluarga mampu. Poinku bukan pada uang atau materi lainnya, melainkan waktu. Waktu bapakku seumuranku, alm kakek sering mengajaknya traveling untuk melihat dunia sehingga ada yang dia ceritakan ke anak cucunya, yang mana adalah benar, bapak punya segudang cerita dan pengalaman traveling bersama alm kakek. 

Semenjak mulai menghemat, aku lebih memilih traveling ke beberapa bagian di Indonesia untuk kegiatan relawan biar ada faedahnya. Memang sih, aku ngga dibayar. Tapi pergi ke beberapa bagian di Indonesia sambil membantu orang lain itu menyenangkan, apalagi pergi ke daerah yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. 

Komentar yang mepet ke negatif masih mengalir setelah aku unggah foto di Instagram, terutama di saat makan siang atau ngopi bareng teman. Mereka bilang capek kerja, tapi cuti ngga pernah dipake dengan alesan sayang bukan karena ngga punya uang untuk liburan. WOI! Istirahat dari pekerjaan dengan ambil cuti ngga harus pergi jauh-jauh, ngga harus menjadikan foto-foto di Instagram sebagai panutan atau persaingan di alam bawah sadar. Sewaktu aku ambil summer school di London dan (sempet) pacaran sama orang asli sana, aku sempat melakukan hal yang ngga biasa ke pacar, yaitu memintanya cuti sehari di hari kerja. Untuk apa? Untuk mengajak dia mengunjungi museum di saat sepi. Aku melakukan itu karena dia merasa jenuh di kantor, mau pergi keluar pas weekend juga kota ramai ngga karuan. Aku senang bisa melihat rasa jenuhnya menghilang setelah kencan ke museum berakhir dan suatu hari kami berjanji akan melakukannya lagi. Melihat teman-teman di Jakarta mengalami hal yang sama, aku mencoba melakukan hal yang serupa, tapi sayangnya mereka lebih takut sama deadline daripada kewarasan mereka yang hampir hilang. 

Saat ini aku sedang berada di Jogja untuk penelitian tesis sambil liburan, kemarin aku sudah memasuki minggu kedua, dan aku masih punya waktu dua minggu lagi untuk kembali ke Jakarta. Apa yang bisa aku bilang tentang Jogja selain menyenangkan, ramah dan makanannya murah? Selain itu, Jogja memberiku aura yang berbeda. Sangat berbeda. Di sini aku merasa lebih bebas dan lepas karena semuanya berbeda dari Jakarta, padahal masih berada di pulau yang sama. Aku sengaja memilih tinggal agak lama di Jogja agar aura negatif di Jakarta rontok semua dan di sini aku merasa jauh lebih... waras. Rasanya menyenangkan bisa bertemu lagi dengan teman-teman yang sudah tidak bertemu selama bertahun-tahun, masih bisa jajan enak di Pasar Beringharjo, dan yang lebih enaknya lagi... Jogja tidak sepadat Jakarta. Iya, di sini aku (hampir) kembali waras. 

Sampai sekarang aku masih suka membujuk beberapa teman untuk cuti sehari di hari kerja untuk menikmati kota Jakarta di pagi sampai sore hari, yang mana mereka lewatkan selama bertahun-tahun bekerja. Aku pengin mereka menikmati betapa enaknya nongkrong di coffee shop kesukaan kami di saat sepi-sepinya, atau berkunjung ke museum yang dari dulu ingin mereka kunjungi, atau ke perpustakaan, atau bahkan movie marathon, menonton semua film yang ingin mereka tonton. 

Iyah, hidupku enak karena sekarang aku masih punya waktu tiga minggu lagi sampai memasuki hari pertama semester baru. Aku bahagia dengan apa yang aku lakukan, karena apa? Karena aku mengikuti kata hati, aku ingin, dan aku butuh. Setiap kali aku punya keinginan yang pasti berhubungan dengan waktu, aku selalu bilang kepada diriku sendiri, "mumpung masih bisa nih!", atau "mumpung gue masih punya waktu nih".

Use your chance wisely, guys. Apalagi kalau menyangkut waktu dan beberapa keinginan yang pengin kalian penuhi, apapun itu. Tenaga bisa kalian kumpulkan, uang bisa kalian cari, tapi kalau waktu udah terlanjur terbuang, kalian ngga akan bisa memutarnya kembali.

Jatah cuti masih ada? Ambil buat liburan! Jangan jauh-jauh, ngga usah niru orang-orang yang di Instagram. Kalian bisa staycation di hotel, AirBnb atau guesthouse di Bogor. Kalian bisa menghabiskan waktu seharian sama orang tua, adik maupun kakak. Kalian bisa manfaatkan waktu dengan baca buku di coffee shop. Kalian bisa pergi ke museum. Kalian bisa pergi ke puncak Monas kalau belum pernah. 

Kalau kalian merasa Jakarta sudah membuat kalian kehilangan kewarasan, pikir lagi. Apakah Jakarta kota yang benar untuk kamu tinggali seumur hidup dan membuat kalian lupa dengan ketidakwarasan kalian karena gaji yang besar?

Comments

Popular posts from this blog

What If We're Dating

Toleransi, Hati Nurani dan Akal Sehat.

Menantang Raga Mungil untuk Coldplay di Sydney