Mengartikan Kesempurnaan Dalam Persahabatan

Beberapa bulan lalu, aku dan salah satu sahabatku (cowok) berdiskusi tentang kesempurnaan versi kami. Memang, apa yang kita dapat di dunia ini tidak melulu soal apa yang kita pengin, tapi apa yang kita butuh. Berhubung usia kami saat itu sama-sama di penghujung usia 20 tahun alias menjelang usia 30 tahun, maka kami membahas soal pasangan dan hubungan. Aku sendiri masih males pacaran serius sejak empat tahun lalu, sedangkan sahabatku sendiri punya pacar dan hubungannya sudah berjalan selama empat tahun tetapi merasa monoton selama setahun belakangan karena kurangnya komunikasi. Kami berdua punya alasan masing-masing kenapa kami belum mau menikah, masalahku cenderung ke perihal kompromi karena aku masih punya beberapa hal yang pengin aku kejar, sedangkan dia cenderung ke perihal komitmen karena dia merasa hatinya belum bisa menetap untuk satu orang. 

Kalau ditanya soal pasangan ideal, jawabanku pasti lebih condong ke penampilan secara fisik. Sedangkan kalau mau realistis, penampilan secara fisik ngga akan aku utamakan, semua balik lagi ke sifat dan sikap selama menjalani hubungan, dan yang utama adalah bisa memberi rasa aman dan nyaman yang sekiranya bisa bertahan selamanya, buatku, itu adalah arti dari kesempurnaan. Sedangkan sahabatku yang satu ini, dia tidak mencari kesempurnaan dalam pasangan maupun dalam hubungan, yaaa mungkin karena dia belum ada keinginan untuk menikah meskipun sudah empat tahun pacaran, atau dia sendiri punya arti lain dalam kesempunaan itu sendiri.

"Find a partner who can talk about anything because beauty can fade, sex can be boring, in the end all you can do is talk" - @torantula

Mungkin beberapa dari kalian melihat akun-akun seleb di Instagram yang udah berkeluarga. Di foto selalu terlihat kompak, anaknya menggemaskan, dan terlihat bahagia nan sempurna. Contoh, Andien. Aku kenal Andien secara personal dan pernah lihat Kawa secara langsung, dan ya, sosok seorang mas Ippe adalah sosok laki-laki yang cukup bikin aku kagum. Bukan karena penampilan fisiknya, tapi karena rajin beribadah. Siapa yang ngga pengin punya pasangan seperti itu? Tapi ingat, itu Andien, penyanyi. Dia mendapat mas Ippe sebagai pendamping hidup karena Andien butuh sosok seperti itu. Buat orang lain? Belum tentu ingin punya pasangan seperti mas Ippe, atau seperti Andien.

Aku pribadi lebih ngefans sama Diego, adiknya Andien. Dia seorang pelari ultra, pesepeda, dan juga seorang petualang, coba cek akun @diegoyanuar di Instagram. GMZ AQUTU~ *eh maap salah fokus*. Lanjut!

Aku percaya bahwa pada nantinya kita akan mendapatkan pasangan yang sesuai kebutuhan, memang tidak sempurna di mata Tuhan tapi (bisa terlihat) sempurna di mata kita. Aku dan sahabatku berpendapat, komitmen dan kompromi adalah dua hal yang berisisan dan sangat susah dipertemukan, tapi kalau diperjuangkan dengan usaha yang cukup, semuanya menjadi mungkin, dan kata "susah" akan hilang. Dan buatku, sempurna dalam hubungan adalah komitmen dan kompromi bisa jalan beriringan, meskipun nantinya antara komitmen dan kompromi akan timpang meskipun ngga memakan waktu lama dan butuh usaha yang keras agar kembali seimbang. 

Ngga sekali aku merasa nyaman dengan sahabat sendiri karena komitmen dan kompromi bisa berjalan seimbang dan mulus, hanya saja ada beberapa hal yang menghalangi kami untuk melanjutkan hubungan ke tahap yang lebih serius, misalnya beda agama, beda suku, dan beda status (akunya ngga punya pacar tapi dianya punya atau sebaliknya. KHAN KZL YA SIST!)

Ngomong-ngomong soal rasa nyaman, beberapa teman sengaja mempertahankan hubungannya karena sudah terlanjur nyaman meskipun ngga tau bakal berakhir di pelaminan atau ngga dan itu pun mereka sudah membicarakannya di awal atau di tengah-tengah hubungan biar punya "Plan B" dan ngga berharap banyak, tapi ada juga yang sengaja mempertahankan hubungan karena sudah berjalan lama, kasarnya sih "sayang aja harus putus karena udah berjalan lama" padahal banyak masalah yang menumpuk tanpa solusi, dan pada akhirnya bisa meledak kapan saja dan menyakiti satu sama lain. Bukannya bertambah dewasa dengan belajar dari kesalahan-kesalahan yang ada, menumpuk kenangan buruk? Iya banget.

Jujur, hubunganku dengan sahabatku yang satu ini bukan persahabatan biasa. Dia menerjemahkan hubungan persahabatan yang makin intens selama empat bulan terakhir menjadi sebuah platonic love (begitu dia menyebutnya, yang mana aku baru apa artinya sekitar 2 minggu lalu dan dia cuma bisa kesal). Bisa dibilang, dia adalah orang yang aku butuhkan di saat-saat aku di ambang depresi beberapa bulan belakangan. Aku hanya bisa terbuka ke dia, dari masalah keluarga, masalah kuliah, hingga masalah kami, sayangnya, pemicu anxiety problem terbesarku ada di dia. Ngga sekali koq aku meminta waktu untuk sendiri, awalnya dia kaget dan khawatir akan kehilangan aku sebagai teman dekat atau sahabat, tapi aku meyakinkan dia bahwa aku ngga akan kemana-mana, aku hanya butuh waktu untuk bernafas, dan aku rasa dia mulai terbiasa kalau panic attack ku kambuh lagi sedangkan kami sedang tidak berada di satu tempat yang sama, jadi aku harus menenangkan diri sendiri dengan cara apapun. 

Suatu hari kami berandai-andai, bagaimana kalau suatu hari aku menikah dan harus pergi jauh dari Jakarta atau Indonesia untuk memulai hidup baru. Dia hanya bisa pasrah karena kalau aku sudah menikah, aku akan punya kehidupan sendiri. Untuk saat ini dia masih bisa bernafas lega karena aku belum ada niat untuk menikah, tapi dengan adanya platonic love yang dia rasakan, aku sadar bahwa aku harus menjaga jarak, karena semakin besar rasa nyaman yang ada, semakin sakit hatilah aku karena aku seringkali lupa bahwa dia punya pacar. Memang, rasa nyaman itu brengsek koq, bisa membuat kita lupa daratan.

Jika menyampingkan platonic love yang ada, persahabatan kami bisa dibilang sempurna. Kami menyisihkan waktu sesering mungkin untuk bersama, berbagi tertawa, menunjukkan amarah, mencari solusi dari masalah yang ada, dan masih banyak lagi. Kami juga saling mendukung, tidak hanya dengan kata-kata tapi juga dengan tindakan sederhana seperti makan siang bareng di saat aku jam istirahat kuliah dan di saat dia jam istirahat kerja, atau sekedar menemani dia ngopi di akhir pekan dengan laptopnya serta obrolan yang ngga tentu topiknya apa, iya, kami serandom itu. Iyah, persahabatan kami sempurna, tapi untuk menjadi sepasang suami istri seumur hidup, kami berdua sama-sama menolak dengan ungkapan "Uuuhmmm, no, I don't think so". 

Aku semakin yakin dengan ungkapan itu setelah seseorang bisa memberiku pelukan terhangat dan ternyaman dalam hidup, karena setelah aku dan sahabatku mencoba kembali untuk membangun batas yang sebelumnya didobrak karena ego, aku semakin yakin, orang yang bilangnya sayang dan ingin menjaga sepenuh hati, ngga akan tega untuk menyikiti sedemikian rupa. Setidaknya, setelah aku bertemu dengan pemberi pelukan itu, aku mulai bisa membangun batas yang tinggi dan kokoh, perlahan-lahan aku berjalan membelakangi sahabatku dan aku mulai belajar untuk berjalan sendiri setelah sekian lama aku bergantung kepada dia dan kembali berusaha melihat dia sebagai teman baik atau sahabat, seperti yang dia harapkan, tidak ada kata putus dan tidak ada kata kehilangan. 

Kayaknya gampang ya, melepas sahabat dengan cinta platonik yang sudah terlanjur ada, tapi kalau jadinya saling menyakiti, bukan saling memberi arti, buat apa dipertahankan?

Sekali lagi, terkadang nyaman memang brengsek.

Comments

  1. penghujung 30..wah umur kita berarti sama ya..
    ia kadang menemukan yg klik itu susah bgt

    ReplyDelete
  2. baca ini saambil nyetel lagu Friendsnya anne marrie

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

What If We're Dating

Toleransi, Hati Nurani dan Akal Sehat.

Menantang Raga Mungil untuk Coldplay di Sydney