Menginjak Usia 30 tahun: Lalu Apa?



Melewati Quarter Life Crisis ternyata tidak semudah yang aku kira, bertahan selama 5 tahun menuju usia 30 tahun butuh ketahanan mental dan batin yang sangat kuat. Buat yang mengenalku, mungkin kalian melihat aku adalah sosok yang pecicilan, periang, dan mudah bergaul. Tapi dibalik itu, aku berjuang keras melawan trauma dalam dua hal: Pacaran serius dan gempa. Inilah alasannya...


Di tahun 2014, aku seharusnya menikah tetapi mantan pacarku membatalkan semua rencana pernikahan kami sekitar dua bulan sebelum hari H. Ya, dia mengakhiri hubungan tanpa alasan yang jelas. Patah hati? Sangat. Tapi patah hati yang dirasakan bapakku melebihi siapapun, termasuk aku. Saat itu usiaku 26 tahun. Aku kehilangan arah, karena pada saat itu aku sudah membulatkan tekadku untuk menikah dan berkeluarga, mengorbankan impian untuk melanjutkan pendidikan dan bekerja di institusi yang aku pengin demi memiliki suami dan anak. Aku sempat bertanya kepada diri sendiri:


"salahku di mana sampai dia pergi?"
"aku kurang apa sampai dia ngga mau nerusin hubungan ini?".


Dengan kejadian itu, aku juga memutuskan untuk melepas hijab yang sudah aku pakai selama 7 tahun. Bukan berarti kepercayaanku kepada Tuhan mendadak hilang karena semua rencana tidak berjalan sebagai mana mestinya, tetapi tekanan batin yang aku rasa semakin besar. Dengan memakai hijab aku harus bertutur kata halus, menjauhi rokok dan minuman keras yang aku rasa akan menjauhi "seorang Nuri yang sebenarnya" 


I'm not asking you to understand what I'm struggling with, and I'm not asking for any birthday presents either *siape juga yang mau ngasih, nyet!*. But all I ask is, if you're having the same struggle like I am now... hang on, people! You are not alone. I'm with you.




Aku merasa uang yang sudah aku kumpulkan sebagai modal berumah tangga ngga akan berguna, tapi setelah wisuda sarjana, aku minta izin bapakku untuk pergi traveling seorang diri dengan waktu yang cukup lama, yaitu selama 7 minggu. Bapak memberi izin dengan mudah karena beliau tau aku sangat membutuhkannya. 





Aku pulang membawa banyak cerita buat banyak orang dan aku menemukan traveling adalah adiksi yang sangat berbahaya, dengan tabungan yang masih tersisa, aku memberanikan diri untuk pergi ke Nepal seorang diri dan mengikuti kegiatan relawan selama satu bulan lamanya. Ada yang bilang, traveling adalah caraku untuk lari dari kenyataan karena aku masih ngga bisa terima kenyataan bahwa keinginanku untuk menjadi seorang istri dan ibu sudah ngga lagi di depan mata, sudah hilang entah kenapa, aku percaya Tuhan punya rencana yang jauh lebih baik. Ternyata benar, selain memiliki kesempatan untuk mengunjungi tempat baru, aku juga berkenalan dengan orang-orang baru.







Tahun 2015, Nepal diguncang gempa yang sangat besar. Beberapa jam setelah gempa pertama terjadi, aku sedang tidur di rumah di mana aku ditempatkan di saat menjalani program relawan. Mengalami gempa saat berada di bawah alam sadar ternyata membuat guncangan 5 sekian skala Ritcher melekat erat di kepala dan jantung. Tahun ini, tahun 2018, aku masih reflek berlari keluar ruangan atau gedung jika meja, kursi atau ruangan (terasa) bergetar hebat. Ya, sampai sekarang kejadian itu masih melekat di hidupku, sampai entah kapan.

Seperti yang aku bilang, traveling adalah adiksi yang berbahaya. Tiga tahun setelah wisuda di tahun 2014, aku menghabiskan waktu dan uang dengan traveling saja. Belanja baju dan gadget tersingkirkan begitu saja karena aku lebih memilih menabung dalam bentuk waktu dan uang. Capek? Ternyata ada saatnya juga aku capek. 

Di usia 28 menuju 29 tahun, aku memutuskan untuk mengambil kesempatan untuk meneruskan pendidikan ke jenjang pasca sarjana karena aku masih ingin bekerja di institusi yang aku mau atau bekerja di luar negeri, aku merasa gelar sarjana saja tidak cukup. Dengan pengetahuan yang pas-pasan dan kondisi badan yang sedang tidak bagus saat SIMAK di tahun 2017, aku dinyatakan lulus untuk menjalani program pasca sarjana jurusan Kajian Gender di Universitas Indonesia.


Kalau kalian mikir aku pintar, kalian salah besar. Aku cuma sedang beruntung, itu saja. Perjuangan melawan tekanan fisik dan mental belum berhenti. Panic attack yang sering aku alami di tahun 2015-2017 ternyata masih datang kapan saja, ngga tau waktu apalagi tempat. Aku berusaha menjadi orang yang tenang karena marah dan protes ngga akan mengubah keputusan Tuhan akan hidupku. Aku hanya bisa berdoa dan berusaha semaksimal mungkin agar rencana hidupku berjalan sebagai mana mestinya. Di sisi lain, aku menjadi orang yang egois dan masa bodoh dengan perasaan orang sekitar. Aku menjadi terbiasa dengan komentar orang bahwa mulutku jahat dan perlakuanku terlalu to the point terutama ke cowok-cowok. Lalu aku sadar bahwa aku melakukan sesuatu karena aku over protective terhadap diri sendiri. Ibaratkan anime Shingeki no Kyojin, aku membuat dinding berlapis-lapis untuk melindungi diriku sendiri, cuma seorang titan yang bisa menerobos semuanya sampai pusat. Aku bersyukur karena belum ada yang bisa melakukannya. Seorang teman menyarankanku untuk konsultasi ke ahlinya, tapi aku masih belum bisa percaya kepada siapapun, kecuali temanku ini. Dia adalah adiksi berbahaya yang kedua. Terkadang, terlalu nyaman itu kurang ajar, bisa bikin lupa diri.

Olah raga lari masih menjadi pelarian ketika otakku butuh pelepas penat, karena merasa kurang, aku menambah freeletics dan TRX sebagai olah raga yang bisa membuatku tumbang dan melepas emosi. Aku masih menabung waktu dan uang agar bisa traveling lagi seperti sebelumnya. Beruntung orang tuaku tidak menekankan aku untuk segera menikah karena mereka tau aku masih trauma dan belum siap untuk pacaran serius lagi. 


Inilah aku, menginjak usia 30 tahun di tahun 2018 di tanggal 25 Juni. Lalu apa? Lulus kuliah dan mencoba untuk mendapatkan pekerjaan impian seperti tekadku sebelumnya, karena apa? Karena punya hutang sama diri sendiri itu ngga enak, urusan jodoh di dunia dan akhirat, itu hanya Tuhan yang tau.

Comments

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku termotivasi dengan beberapa tulisan yang ada di blogmu, Mba Nuri! Terimakasih, semangat buatmu.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

What If We're Dating

Toleransi, Hati Nurani dan Akal Sehat.

Menantang Raga Mungil untuk Coldplay di Sydney