Nepal: "KELUAR! GEMPA!"



Beberapa bulan lalu aku ngga sengaja mengapus tulisan tentang Nepal bagian kedua, padahal itu bagian serunya waktu aku di Nepal dua tahun lalu. Gila, udah dua tahun aja. Time flies!

Setelah menjalani orientasi di kota Kathmandu selama 5 hari, aku dan beberapa relawan pindah ke Pokhara sesuai dengan program yang kami pilih. Aku, Natalie, dan Shirley memilih program yang sama, yaitu bekerja di rumah yatim piatu. jarak dari rumah ke lokasi kerja ngga jauh, cuma tiga atau 4 kali koprol (jalan kaki 30 detik - 1 menit) juga sampe. Jam kerja kami dimulai dari jam 9 pagi sampai jam 3 sore, setelah itu kami boleh tetap bermain di sana sampai jam makan malam atau pergi ke tempat lain.  Anak-anak di Annapurna Self-Sustaining Orphan House berusia dari 4 tahun sampe 18 tahun, dan mereka belajar di boarding school dekat rumah, makanya mereka bisa berkomunikasi dengan baik dalam bahasa Inggris.






Kami bertiga harus membiasakan diri dengan keadaan rumah dan lingkungan yang apa adanya, tantangan terberat kami adalah… MANDI! Karena pada saat itu suhu pagi hari di Pokhara mencapai 6 derajat celsius. Emang sih, kita ngga harus mandi pagi seperti biasa. Mandi siang, sore atau malam pun sah-sah aja. Tapi yang namanya kebiasaan pasti susah lepas begitu aja, sama seperti orang baru pacaran, pasti ngga mau lepas dari pacarnya *halah*. Suatu pagi Natalie dan Shirley menatapku heran karena aku langsung mengambil handuk dan pergi mandi di suhu yang amit-amit dinginnya. Oh, kami tinggal di rumah penduduk yang ngga ada air panasnya. Yaaah, jadi mirip Jatinangor lah.
Pemandangannya sama-sama gunung, suhunya sama-sama dingin, dan kemana-mana masih bisa dijangkau dengan jalan kaki. Kecuali ke pusat kota, kita harus naik bus. 




Sabtu, 25 April 2015.
Kami libur kerja setiap hari Sabtu, dan di hari Sabtu minggu kedua, kami semua dijemput oleh mobil dari operator travel untuk melakukan paragliding yang udah kami booking sebelumnya. kalau kalian besar di tahun 90an, kalian pasti tahu mobil Kijang kotak. Nah, kami dijemput dengan mobil itu yang AC nya masih berfungsi dengan sangat baik. Ajaib bukan? Para relawan dijemput dari yang terjauh sampai ke yang terdekat dari lokasi kantor provider travel paragliding yang terletak di dekat Lake Side. Sekilas informasi, Lake Side itu lokasi wisata terkenal yang budgetnya masih masuk akal untuk para backpacker dan suasanya seperti Kuta tapi lebih eksotis. Okeh, lanjut. Dua sepupu Danielle dan Kendra adalah yang dijemput terakhir. Saat supir turun dari mobil untuk memanggil mereka, aku dan yang lainnya menunggu di mobil sambil mengobrol. Kami menunggu agak lama karena mereka baru selesai mandi. Saat sedang mengobrol, kedua mataku tertuju ke depan mobil.

Orang-orang berlarian keluar dengan teriakan dan wajah ketakutan, aku sempat mengira mereka lari karena ada sapi ngamuk, maklum, di Nepal banyak banget sapinya.

Aku menatap orang-orang di luar dengan heran, lalu teman-teman yang lain mengarahkan pandangan matanya ke mana aku memandang juga. Mereka bertanya-tanya. Kami enggan keluar dari mobil karena khawatir ada sapi ngamuk.

Kemudian supir kami menyuruh kami untuk keluar dari mobil dengan bahasa Nepal dan Inggris yang tercampur aduk dengan rasa panik.

“Kenapa? Ada apa?”, tanya Shirley yang kebetulan sedang duduk di jok depan

Sang supir menggerakan kedua tangannya, gerakan yang susah kami mengerti, tapi gerakan tangannya seolah-olah seperti memegang sesuatu dan menggoyang-goyangkannya dengan kencang.

“Earthquake?”, tanya Shirley

“IYA. GEMPA! KELUAR SEGERA! GEMPANYA BESAR!”, seru supir kami.

Kami langsung keluar dari mobil yang terletak di luar gang, pergi menjauh dari bangunan dua atau tiga lantai yang ada di sekitar mobil, kami berjalan pelan menuju trotoar dan jalan besar. Kami lihat tiang bangunan dan tiang listrik terguncang hebat, orang-orang di jalan besar menghentikan kendaraannya demi keselamatan atau sekedar memastikan bahwa benar ada gempa atau tidak.

Gempa besar itu berlangsung cukup lama, cukup membuat kami sedikit oleng ketika berdiri tegak di trotoar. Kami yakin, gempa susulan akan segera datang. Setelah Danielle dan Kendra keluar dari rumah dan masuk ke dalam mobil, kami tetap melanjutkan perjalanan ke Lake Side. Iya, kami tetep melakukan paragliding sesuai rencana. Yaaaa mau gimanaaaa, 50 USD boooook. Sayang kalo dibatalin.


Sementara Danielle dan Michael (relawan dari China) pergi terlebih dahulu ke bukit untuk paragliding, relawan lain menunggu di kantor provider travel tersebut. Kami ngga bisa memakai semua fasilitas komunikasi yang terputus karena gempa besar tadi, kami semua bingung bagaimana cara menghubungi kerabat dan keluarga kalau bukan pakai wifi. Hanya Shirley yang membeli nomer lokal karena dia mengambil program relawan selama 2 bulan. Sebelum berangkat  ke Nepal aku meninggalkan nomor dan alamat KBRI di Dhaka, Bangladesh, ke kakak ipar. Aku membawa handphone dengan nomor cadangan yang pulsanya tinggal sedikit, hanya bisa dua atau tiga kali sms aja. Akhirnya aku menghubungi kakak ipar tentang keadaan di Pokhara dan sekalian minta pulsa *nah kalo ini beneran, bukan modus penipuan lewat sms yang populer bertahun-tahun lalu*

Aku meminta keluargaku untuk tenang dan bantu mengabari staff KBRI di Dhaka kalau aku aman-aman aja di Pokhara. Semenjak gempa pertama hingga para relawan bertemu di Lake Side untuk makan malam bersama, kami merasakan after shock sebanyak belasan kali, atau mungkin sebanyak puluhan kali, aku sampai capek menghitungnya karena itu pertama kalinya aku mengalami gempa besar dengan keadaan sadar.

Sebanyak 12 relawan di Pokhara berkumpul di sebuah restoran di Lake Side untuk makan malam, minum bir, dan bersyukur bersama. Secara bergantian kami menggunakan wifi untuk mengabari kerabat dan keluarga, lalu kembali bersenda-gurau sebelum mengakhiri hari Sabtu yang sangat luar biasa itu. 


Setiba di rumah, Amma (panggilan untuk seorang ibu dalam bahasa Nepal) menyambut kami bertiga untuk memastikan kami baik-baik saja. Dari luar aku terlihat baik-baik saja, dari dalam? Rasanya masih terguncang. Malamnya kami membiarkan pintu kamar terbuka agar kami bisa langsung berlari keluar kalau gempa datang lagi…

Comments

Popular posts from this blog

What If We're Dating

Toleransi, Hati Nurani dan Akal Sehat.

Ketika Kita Sendiri yang Membuat Jalan Buntu