London: Menjadi Minoritas, Theresa May, dan Musisi Jalanan

Cara pandang aku terhadap suatu hal terutama budaya dan tata krama, hampir berubah setelah aku tinggal sebentar d London. Yang tadinya "bodo amat" dan "suka-suka gue", berubah total menjadi individu yang secara otomatis mengikuti peraturan sederhana yang tertulis maupun tidak tertulis.

Sedikit intermezzo, bapakku sempat tinggal di sebuah kota di Inggris bernama Oxford dalam rangka belajar bahasa Inggris sebelum masuk kuliah. Meskipun beliau akhirnya drop out atas keinginan sendiri, setidaknya beliau benar-benar belajar bahasa dan behaviour orang Inggris dalam kehidupan sehari-hari.

Aku menghabiskan waktu di London selama 3 bulan lebih dikit, 9 minggu untuk summer school di SOAS, sisanya aku gunakan untuk mengelilingi kota London dan pergi ke kota lainnya. London adalah kota yang sangat multi kultural, jika kamu pergi ke pusat kota terutama ke Oxford Street dan Piccaddily Circus di akhir pekan, kamu bakal menjumpai lebih banyak orang yang berbicara dalam bahasa Spanyol, Itali dan Jerman daripada bahasa Inggris.

Selama aku tinggal di sana, apalagi waktunya pas banget setelah Brexit yang membuat David Cameron mundur dari jabatannya sebagai Perdana Menteri United Kingdom lalu digantikan oleh Theresa May yang konan kata guruku beliau menderita penyakit diabetes yang membuat hidup beliau tidak lama lagi, tapi yang namanya usia cuma Tuhan yang tau, ye khaaaaaan?

Meskipun multi kultur, penduduk di sana hidup berdampingan dengan sangat baik dan saling menghormati meskipun menjadi kaum minoritas sempat membuatku gugup juga semenjak Tragedi 9/11 dan ISIS di mana-mana.  Aku pernah ditanya apakah aku Jihad, apakah aku makan babi, apakah aku solat 5 waktu dan hal lainnya yang berhubungan dengan agama Islam. Sebagian besar orang yang aku temui di London tahu bahwa Indonesia adalah negara yang populasinya didominasi oleh agama Islam dan mereka berpikir bahwa aku hidup dengan mematuhi peraturan agama Islam yang keras bahkan sedikit konservatif. Aku hidup selayaknya mahluk sosial di manapun aku berada, entah di Jakarta ataupun di London.

Aku masih di London saat hari raya Idul Adha dan aku punya satu teman keturunan Turki-Arab yang besar dan bekerja di London, sayangnya Idul Adha jatuh pada hari Senin dan dia tidak mendapat izin untuk melakukan solat Eid di pagi hari. Di daerah yang tidak jauh dari pusat kota banyak masjid yang cukup besar, salah satunya adalah masjid yang dibangun oleh masyarakat Turki yang ada di London, sayangnya tidak sempat aku foto karena aku melewatinya saat malam hari. 




Musisi jalanan didukung oleh pemerintah kota, bahkan mereka disediakan tempat di tempat umum seperti pasar, stasiun dalam tanah, dan di sekitar tempat wisata seperti London Eye dan Trafalgar Square. Tidak hanya dengan gitar, bas, dan drum, ada juga yang bermain harpa, saxophone dan alat musik yang mereka bikin sendiri seperti foto di bawah ini.



Tidak hanya musisi, artis jalanan seperti pelukis dan seniman gelembung sabun seperti di bawah ini juga banyak



Sebagai kota yang multi kultur, London juga mendukung kegiatan seni budaya dari berbagai negara seperti Japan Matsuri yang diadakan di Trafalgar Square, senang bisa melihat orang lain berpartisipasi dalam acara ini dan ternyata tidak sedikit orang yang datang untuk menikmati pertunjukan budaya Jepang dan juga makanannya.




Sangat disayangkan kota seperti Jakarta masih minim toleransi terhadap kaum minoritas, apalagi akhir-akhir ini ada sebuah aksi yang disebut "Aksi Damai" tapi agak memprovokasi dan tidak menunjukkan sisi positif dari penggalang aksi tersebut. Semua agama mengajarkan umatnya untuk berbuat baik, bukan sebaliknya, apalagi membenci satu sama lain. Semoga Jakarta bisa menjadi lebih baik lagi dalam toleransi beragama dan antar ras dan suku bangsa.

Comments

  1. Jadi makin parah kangennya sama London!
    Nice pictures, btw! You girl have serious talent! <3


    Dee - The Jackie of All Trades

    ReplyDelete
  2. Foto-fotonya "berbicara" Jadi mupeng :) sementara jalan-jalannya lewat buku aja hiks

    omnduut.com

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

What If We're Dating

Toleransi, Hati Nurani dan Akal Sehat.

Ketika Kita Sendiri yang Membuat Jalan Buntu