#BIJITrip. Iceland: Minus 6 Derajat, Snow Mobile dan Trevor Biggs

Banyak temanku bilang, bepergian seorang diri itu ngga menyenangkan. Ngga ada yang bisa diandalkan saat kesulitan, atau bahkan membantuku menyakinkan diri untuk meneruskan perjalanan di saat aku merasa capek atau menyerah. Mungkin mereka ada benarnya. Tapi menurutku, bepergian sendirian itu menyenangkan. Aku bisa mengandalkan diriku sendiri di saat kesulitan bahkan untuk meyakinkan diriku sendiri ketika perjalanan mulai terasa berat. Saat bepergian sendirian hanya ada aku, buku bacaan dan musik yang selalu menemani selama perjalanan tetapi bukan berarti aku ngga suka berkomunikasi dengan orang baru di negara yang aku kunjungi. Aku suka bertemu dengan orang baru, membicarakan tentang dari mana aku berasal bahkan seperti apa budaya yang ada di negaraku. Agak sulit menjelaskan ke mereka dengan bahasa Inggris yang pas-pasan tapi setidaknya aku sudah berusaha, entah mencuri lihat kamus di smart phone atau menunjukkan beberapa foto ke mereka. 



Aku terbangun di sebuah kasur senyaman milikku di rumah, lalu aku teringat, aku sedang berada di Reykjavik, bukan di Jakarta. Aku menginjakkan kaki di Reykjavik untuk pertama kalinya. Aku mengamati kegiatan di luar penginapan yang akan aku tempati selama 5 hari ke depan. Aku berniat untuk sarapan sebelum transportasi dari rangkaian tur menjemput, paling ngga aku harus bertenaga dan menyesuaikan diri udara dingin. Selama perjalanan di Eropa, hatiku berbicara banyak. Apa jadinya jika aku meninggalkan Jakarta dan pindah ke kota yang menurutku lebih menarik dan bisa membuatku lebih hidup? Apa jadinya kalau aku ngga berhenti bekerja, terjebak di balik meja dalam sebuah perusahaan periklanan yang punya cabang di mana-mana dan membuatku merasa seperti robot? Dan apa jadinya kalau aku ngga nekat terbang ke beberapa negara di Eropa untuk mengembangkan keberanian saat bepergian seorang diri dan karir fotografi meskipun tanpa dukungan orang tua?

Di setiap keputusan yang akan aku ambil, pasti aku rundingkan dulu dengan adik laki-lakiku karena dengan dia lah aku bisa menceritakan semua masalahku dan dia membantu dalam menyelesaikan atau meyakinkanku dalam mengambil keputusan, begitu juga sebaliknya. Aku sering menyebut diriku seniman hanya karena aku seorang fotografer, padahal banyak orang bilang seniman itu seperti pelukis, musisi atau pembuat film. Apa yang aku lakukan di Eropa sekarang adalah bukan sebuah pilihan, tetapi sebuah tanggung jawab. Tanggung jawab atas sebuah pilihan. Tapi, bagaimana jika pilihanku salah? Bagaimana jika aku tidak bisa bertahan? Bagaimana kalau perjalananku kali ini ternyata ngga ada gunanya karena ngga punya cerita yang bisa aku bagi? Terlalu banyak “bagaimana” dan “jika” di sini. Adik pernah berkata, “try first, worry later”, semenjak itu, kata-katanya bagaikan mantra di saat aku khawatir akan kegagalan. 

Di hari pertama aku datang ternyata Iceland sedang mengadakan acara Iceland Airwaves 2014 yang (menurut temen-temenku) line-up nya gila, buat aku sendiri sih cuma dua atau tiga band aja. Agak nyesel sih baru taunya pas aku dateng, tapi karena beberapa tur bakal mengisi kegiatan di Iceland selama 4 hari, ada untungnya juga ngga nonton karena bisa menyimpan tenaga.




Dari sekian rangkaian tur yang aku alami di Iceland, yang paling gila adalah Snow Mobile. Snow mobile yang aku tumpangi dikemudikan oleh seorang tur guide profesional bernama Jacob. Wisata Snow Mobile berlangsung kurang lebih satu jam, sekitar 10 kendaraan jalan beriringan mengikuti guide yang lain sesuai rute. Nah, Jacob ini beda sendiri. Karena dia sudah berpuluh-puluh tahun menjalani bagian tur ini, dia nyetir sesuka hati. Dari mengemudi dengan kecepatan yang tinggi, maneuver yang hampir membuatku jatuh dari kendaraan sampai... sampai... sampai aku tiba di penginapan dengan utuh dan sehat wal'afiat meskipun sempat tumbang kedinginan karena suhu terendah saat itu adalah minus 6 derajat Celsius *sujud sukur*










Tiga hari sebelum kembali ke London, aku menghabiskan waktu di bar hostel sambil membaca buku dan mendengarkan lagu. Di sana aku bertemu dan berkenalan dengan seorang cowok asal Connecticut bernama Trevor Biggs. Bapaknya orang Inggris, sedangkan ibunya orang Amerika, otomatis dia bisa berbahasa Inggris dengan dua aksen yang berbeda. Kami ngobrol banyak sambil minum segelas dua gelas bir. Mulai dari pendidikan, sampai pengalaman solo traveling. Dia mangambil jurusan Agrikultur di Connecticut dan dari kabar terakhir yang aku terima via e-mail, dia membangun sebuah sekolah kecil Agrikultur untuk anak-anak, karena bagi dia pengembangan bahan pangan dasar adalah hal penting sampai kapanpun *serasa di film Interstellar* dan dia ingin menanamkan ilmu tersebut kepada anak-anak jaman sekarang. Entah kenapa, topik pembicaraan tentang "pacar" selalu aku dapat sampai aku berada di London selama 3 minggu. Dan itu termasuk topik pembicaraan antara aku dan Trevor sambil minum bir dan merokok di teras bar hostel. Aku bercerita kepadanya kalau aku bertemu dengan cowok asal Amsterdam dan aku masih berkomunikasi sampai aku berada di Iceland. Giliran aku yang bertanya, dia menjawab...

"Aku punya pacar, dari Connecticut juga. Kami bertemu di sebuah pesta dansa yang bertema country. Aku sangat suka musik country. Sekarang kami udah berpacaran selama setahun lebih", kata Trevor.

"Apakah dia seumuranmu?", tanyaku. "Karena kalau aku amati, sekarang banyak cowok yang pacaran sama cewek yang lebih tua"

"Iya, dia lebih tua", jawab Trevor.  

"Oh ya? Beda berapa tahun? Aku pernah pacaran sama cowok yang usianya 3 tahun lebih muda dariku"

"Usia kami beda... 14 tahun"

"...."

"Dan dia janda, beranak satu"

"....."

"Anaknya cowok berusia... 17 tahun"

"HOLY SHIT! NO WAY!"

"Aku serius"

"HUAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA", tawaku menggelegar.

"Aku tau reaksimu bakal seperti itu, tapi memang begitu kenyataanya"

"Kamu akrab dengan anaknya?"

"Cukup akrab, karena dia setahun lebih muda dari adikku"

"......"

"Ini bukan pertama kalinya aku bepergian jauh tanpa dia. Dia udah ngelewatin hal yang lebih berat dari sekedar ditinggal bepergian jadi bagi dia ini bukan masalah besar"

Kami menghabiskan bir lalu kembali ke kamar masing-masing, dan keesokan harinya aku bertemu dengannya lagi di bar sebelum dia kembali ke Amerika. Sayangnya kami ngga foto bareng karena keasikan ngobrol #selftoyor

Inilah yang aku suka dari bepergian sendirian, bebas berkenalan dengan siapa aja dan berbagi banyak cerita. Sampai saat ini aku masih berkomunikasi via e-mail dengan Trevor, saling menanyakan kabar dan berbagi cerita baru. Kalian punya cerita menarik dengan orang yang kalian temui saat bepergian sendirian ngga?

Comments

Popular posts from this blog

What If We're Dating

Toleransi, Hati Nurani dan Akal Sehat.

Ketika Kita Sendiri yang Membuat Jalan Buntu