#BIJITrip: Amsterdam. Musim Gugur, Kanal dan Asap

Aku memulai Euro tripku dari Amsterdam, Belanda. Alasannya sederhana: aku belum pernah ke Amsterdam sebelumnya dan temanku, Ariev Rahman (iya, Ariev yang itu) memperkenalkanku ke temannya yang kuliah di Amsterdam. Namanya Fickry. Awalnya Belanda adalah negara tujuan ke 7 dari 9 negara, tapi karena duit ngga cukup dan mengubah itinerary berkali-kali, akhirnya Amsterdam menjadi kota pertama. Setelah berkenalan via Path dan berujung ngobrol langsung via WhatsApp, akhirnya aku bisa menginap di tempat dia selama 3 hari pertama demi menghemat pengeluaran, dengan catatan aku membawakan dia... RENDANG, SAMBAL BU RUDY dan PEMPEK PALEMBANG 😂

Awalnya bingung harus pesan di mana, setelah ngobrol selama berhari-hari demi tiga titipannya akhirnya dia yang pesan ke temannya dan tinggal aku kemas lalu masukkan ke dalam koper. Karena khawatir bocor dan bececeran, rendang dan pempek Palembang aku masukkan ke dalam kotak makan yang merknya diawali huruf "T". Dengan adanya kotak makan dan beberapa baju hangat yang tebalnya memakan tempat, koperku terlihat seperti ibu-ibu hamil 9 bulan: PADAT DAN BERISI, BRO! Saat ditimbang di bandara, beratnya mencapai 24kg. Eh tapi lumayan juga yajk, setelah semua titipan dia dikeluarin, koperku beratnya jadi 21.5kg. Tapi orangnya mah segini-segini aja *lah*

Oke, koper beres. Check in beres. Selanjutnya adalah terbang dari Jakarta menuju Dubai memakan waktu sekitar 7 jam, transit selama 5 jam lalu terbang dari Dubai ke Amsterdam sekitar 7 jam lagi. Aku sengaja memilih penerbangan tengah malam dari Jakarta biar nyampe Amsterdam setelah jam makan siang, kebetulan Fickry juga ada kuliah yang selesainya sekitar jam 3 sore. Jadi sekalian nunggu Fickry pulang kuliah juga.

Aku menghabiskan waktu selama 11 hari di Amsterdam. Menginap di flatnya Fickry selama 3 hari lalu pindah ke hostel selama 8 hari. Aku mengawali hari pertama di Amsterdam dengan berjalan-jalan mengelilingi kota bersama Fickry setelah menaruh koper di flatnya. Meskipun sedang sibuk kuliah dan mengerjakan tugas mingguan, Fickry bersedia meluangkan waktu untuk memperkenalkan kota Amsterdam kepadaku. Amsterdam adalah kota yang penuh dengan warna (dan kanal, tentunya) beserta kamu-tahu-itu-asap-apa di mana-mana. Dia memperkenalkan kota Amsterdam dengan berjalanan kaki dan naik sepeda seperti layaknya orang lokal. 


  



Sekalinya kamu bisa naik sepeda, kamu pasti akan bisa terus. Tapi yang ini pengecualian, karena aku naik sepeda yang tidak ada rem tangannya. M A M P U S! Parno kalo ngga bisa ngerem pas lampu merah dan parkir. Kelarnya? Selangkangan nyeri *pukpuk paha atas*

Setelah berusaha dan berjuang mengendarai sepeda tanpa rem tangan, akhirnya sampai juga di area Rijkmuseum dengan selamat dan jantung rasanya mau copot! *BANGGA*





 


Hari kedua di Amsterdam, aku memutuskan untuk keliling kota sendirian. Aku berjalan dengan arah yang tidak tentu dari flatnya Fickry mulai jam 2 siang, jika menurut tulisan Ricardo Cases, aku mengakhiri “jalan-jalan” ku sekitar jam 10 malam. Karena aku takut mengganggu Fickry dengan meminta dia untuk membukakan pintu flatnya, aku berniat untuk mengakhiri “jalan-jalan” sekitar jam 8 malam. Setelah menghubungi Fickry, ternyata dia sendiri akan kembali dari kampus sekitar jam 9 malam. OKE SIP! Mari kita ngiderin kota Amsterdam. Sekilas terlihat gampang itu melakukan apa yang ditulis Ricardo Cases, ternyata? NGGA. Aku teralihkan oleh banyak hal, apalagi Amsterdam adalah kota yang ramai.

Aku beruntung karena cuacanya cukup cerah meskipun anginnya sedikit kencang, dan dingin tentunya. Aku merasa seperti anak SMP yang sedang nyasar di kota Amsterdam. Karena aku memakai tas punggungku, dan badanku yang kecil membuatku terlihat seperti anak SMP. Atau bahkan seperti anak SD #lalunangisdipundakVanGogh. 





Ditengah-tengah perjalanan, batterai handphoneku menipis dan aku ngga bawa powerbank. Lumayan panik karena aku harus buka peta di handphone untuk cari arah balik ke flatnya Fickry. Dengan modal nekat bin muka lempeng, aku masuk ke sebuah bar yang di luarnya tertulis jadwal pertandingan bola yang akan disiarkan di bar tersebut, berhubung berbagai liga sepakbola sedang berlangsung jadi banyak bar yang menayangkan pertandingan bola. Setelah memesan bir satu gelas kecil tanpa ditanya identitas untuk membuktikan aku sudah di atas 18 tahun (INI PENTING!), akhirnya bisa numpang ngecharge handphone di meja paling pojok, yang mana kalo aku mau nonton bola, kepala harus melintir dikit karena televisinya ada di belakangku. Aku semeja dengan bapak-bapak yang usianya hampir 70 tahun, berawal dari ucapan "Maaf, saya boleh duduk di sini?" lanjutlah obrolan kami tentang kehidupan sehari-hari si bapak dan perjalananku di Eropa ini.

"Kamu suka Amsterdam?", tanya beliau

"Suka! Orangnya ramah-ramah dan mungkin karena aku baru pertama kali ke sini jadi terasa menyenangkan", jawabku

Beliau tersenyum simpul, "Nuri, coba kamu lihat tempat yang di seberang kita persis"

Aku pun melihat tempat yang dia maksud, terlihat banyak orang mengantri sampai puluhan menit

"Kamu tau itu tempat apa?", tanya beliau

Aku menggeleng

"Itu tempat sex live show"

Aku. Langsung. Bengong.

"Dan yang di sebelahnya, yang ada pintu kaca berjejer dan bergorden merah...", dia melihat jam tangannya sesaat. "Kamu coba perhatikan dalam waktu sekitar 5 menit"

"Memangnya itu tempat apa?"

"Nanti kamu juga tau"

Aku memperhatikan tempat yang dia maksud sambil lanjut ngobrol, ngga lama kemudian salah satu gorden merah dari tiga pintu kaca terbuka.

Aku. Bengong. Lagi

"Itu... perempuan cuma pakai pakaian dalam"

"Iya, itu tempat prostitusi. Di sini legal"

"Di negaraku tidak"

"Pantas ekspresimu kaget begitu", ucapnya sambil terkekeh. "Selamat datang di Red Light District"

Beberapa bulan sebelum aku berangkat, aku bertanya ke salah satu sahabatku yang pergi ke Amsterdam saat musim panas dan dia menceritakan hal yang aku lihat sekarang. Ternyata Red Light District separah ini. AKU SHOCK, KAK! AKU SHOCK!

*ambil napas dalem-dalem beberapa kali*

Oke, lanjut!

Sambil menunggu batterai handphone penuh, aku menonton pertandingan bola sesekali kembali mengobrol dengan beliau dan beberapa kali ditraktir bir oleh temannya, lumayan lah menghemat duit. Namanya juga traveler, ditraktir bir aja udah seneng. Apalagi ditraktir makan, dijamin hidup makmur sejahtera meskipun cuma sehari karena porsi makanan di Eropa cukup besar untuk sekali makan. 

Saatnya pergi! Bukan karena batterai handphone sudah penuh, tapi karena hari sudah mulai gelap dan Fickry mengajakku bertemu di sebuah bar yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Bukan, bukan buat minum bir lagi tapi buat Couchsurfing Meeting. Jadi CS Meeting itu semacam gathering buat pengguna Couchsurfing, mirip seperti AirBnb tapi lebih nyantai (baca: tidur di sofa, sleeping bag atau di mana-mana pemilik tempatnya senang). Aku disambut oleh host dari CS Meeting tersebut, namanya Arthur, dan ibunya (atau neneknya, aku lupa) adalah... orang Bandung. Untung dia menyapa dengan kalimat "apa kabar?", kalo pake kalimat "kumaha damang?" trus aku bales "sae... sae" dan dia bales lagi pake bahasa Sunda, SARUA KENEH ATUH! Dari sekian kali aku pergi ke bar, baru kali itu aku merasa sangat cupu karena pesan... Jus apel. Minum jus apel di sebuah bar yang mana sempet diketawain dua cowok lokal, terdengar sayup-sayup suara adikku, dia bilang, "Kamu jauh-jauh ke Amsterdam, yang kebanyakan birnya ngga ada di Indonesia malah minum jus apel? Kamu bukan kakakku! BUKAAAAAN". 

Suhu udara di Amsterdam malam itu sekitar 7-8 derajat Celsius, tapi yang namanya pengen merokok mah, mau sedingin apapun di luar tetep dijabanin. 

"Hey! Kamu tau ngerokok itu ngga baik buat kesehatan khan?", seru seorang cowok yang mana mukanya ngga cakep-cakep amat tapi badannya jadi. Untungnya dia pake polo shirt, kalo pake V-neck aku udah melengos ke luar bar. Dan ternyata dia salah satu dari dua cowok yang ngetawain aku pas pesen jus apel.

"Tau", jawabku. "Terus kenapa?"

Demi keamanan dan kenyamanan bersama, kelanjutan cerita di bar bakal diungkap secara lisan kalo ketemu ya *lalu ditimpuk koper karena ceritanya ngegantung*. Endingnya sih, aku mabok jus apel karena minum sampe 3 botol *self toyor*


Jam menunjukkan hampir jam 11 malam, akhirnya aku dan Fickry berpamitan. Selain karena sudah hampir tengah malam, aku harus berkemas untuk pindah ke hostel keesokan harinya. Masih ada 8 hari lagi untuk menikmati kota Amsterdam sebelum pindah ke Berlin.

Comments

Popular posts from this blog

What If We're Dating

Toleransi, Hati Nurani dan Akal Sehat.

Ketika Kita Sendiri yang Membuat Jalan Buntu