Bhutan Expedition: Berdiri Dengan Kaki Kecil Ini.



(atas ki-ka) Sha Phurba, Ling He, Jin Liu, Rongrong Yan, Bruno Raschle, Dereesa Reid, Dr. Judith Topilow, Rich Stephens, Dr. Arthur Topilow, Greg Miao and Shirley Kuai
(bawah ki-ka) Marcella Lassen, Mark Prior, Chris Rainier, Nuri Arunbiarti (aku), Meg Marksberry and Fiona Zhang


Tulisan kali ini berisi tentang pengalaman dari yang pengen bikin nangis sampe bikin ketawa. Aku datang sehari lebih awal dari jadwal ekpedisi dimulai, yang mengurus perjalanan dari National Geographic, bernama Jessica, memberi tahu setelah aku ngirim jadwal kedatanganku ke Bangkok. Perjalanan dimulai pada tanggal 10 Maret 2014, sedangkan aku sudah memesan tiket pada tanggal... 9 Maret 2014. JRENG! Aku sempet bingung karena hotel yang ditawarkan Jessica cukup mahal. Jadi, aku menginap di Saphaipae Hostel karena murah, hanya 10-15 Bath per malamnya. Toh hanya untuk tidur satu malam saja. Sehari setelah menginap di Saphaipae Hostel, aku naik taxi ke tempat di mana semua peserta ekspedisi menginap di Novotel Suvarnabhumi International Airport, Bangkok. Saat makan malam, aku tidak melihat adanya "penampakan" peserta ekspedisi karena hotel ini kebanyakan dipakai untuk transit. 

Semua peserta ekspedisi diminta berkumpul di lobby hotel pada jam 3 subuh, karena takut kebablasan, aku memutuskan untuk tidak tidur dan mengecek isi koper agar tidak ada yang tertinggal. Jumlah peserta ekspedisi ada 15 orang, harusnya 16 tapi ada satu peserta yang batal. Di situ aku berkenalan dengan semuanya, termasuk fotografer National Geographic, Chris Rainier. Aku berusaha berkomunikasi dengan semua peserta yang menggunakan bahasa Inggris, sempet jiper karena bahasa Inggris ku pas-pasan. BANGET. Tapi selama mereka mengerti maksudku, aman. AMAN BANGET.

Pada saat makan siang setibanya kami di Zinwaling Hotel di Paro, kami semua memperkenalkan diri. Ada yang berprofesi sebagai dokter, CEO rumah sakit, konsultan hukum dan nomad traveler. Hampir semuanya adalah traveler kelas berat. Saat itu aku duduk bersebelahan dengan Marcella dan Bruno, sepasang suami istri dari Swiss.  

"Setelah ekspedisi ini, kamu ada rencana traveling kemana lagi, Nuri?" tanya Bruno, seolah-olah gue punya duit kayak menuai padi. Di mana-mana ada dan siap panen 2 kali dalam setahun. 

"Adikku tertarik sekali untuk pergi ke sana, mungkin aku akan menemani dia. Rencananya akhir tahun ini", jawabku

"AH! Iceland! Kamu harus ke sana untuk melihat Aurora Borealis karena itu adalah fenomena alam terindah yang pernah aku lihat", tambah Marcella 

Lalu Bruno mengeluarkan handphonenya dan memperlihatkan foto-foto Aurora Borealis hasil karyanya, aku drop seketika karena fotonya bagus banget. Dan mereka berduapun bercerita bahwa untuk mendapatkan foto Aurora Borealis, mereka membawa banyak perlengkapan yang membuat hasilnya sepadan dengan usaha dan kesabaran mereka.

Di ekspedisi ini aku dekat dengan Mark Prior dari Australia dan Sam Aldrin* dari San Fransisco. Persamaannya cuma satu: kami bertiga belom menikah :)) peserta lainnya ada yang suami istri dan sudah pernah menikah. Sebenernya ada yang masih single fighter, karena mereka berasal dari Cina dan lebih sering berbahasa Mandarin, kami tidak begitu dekat.

Aku mengobrol banyak dengan Mark pada saat sarapan dan kami makan di satu meja, karena aku pernah ke Sydney, aku bercerita sedikit tentang pengalamanku traveling ke Sydney. Mark adalah fotografer handal, badannya yang tambun mempermudah dia untuk membawa dua buah body camera dan lensa-lensa yang panjang dan berat (kalo panjang dan lama itu bukan lensa, tapi coklat Choki-Choki). Kami juga ngobrol soal kamera dan lensa, aku sempat meminjam blower untuk membersihkan kameraku karena aku tidak bawa (BEGO!). 

 Lalu, Sam Aldrin, seorang nomaden traveler yang datang dari Sri Lanka saat ekspedisi dimulai, termasuk nyeleneh kalo aku bilang sih. Selama ekspedisi, aku sering jalan-jalan berdua sama dia saat terpisah dari rombongan, bahkan dia menganggapku sebagai adik. Hari kedua ekspedisi, kami makan siang di sebuah restoran, dan di sana dia melihat cowok bule yang sekiranya bisa bikin dia ngiler bahkan bikin selangkangannya basah (eh maap).

"Nuri, lihat cowok itu deh. Arah jam 3", kata Sam yang mengambil duduk di sebelahku saat itu
"Cowok itu? Ngga jelek tapi bukan tipeku", kataku
"Kamu sukanya cowok Indonesia yah?"
"Tergantung sih, aku juga suka sama bule. Menurutku yang blasteran lebih menggoda daripada bule asli"
"Masa sih?"
"Iye, udah ambil makan sana"

5 menit... 10 menit... Sam tidak kembali juga dari meja buffet. Ternyata oh ternyata, dia ngobrol sama cowok bule itu, bersama sebuah piring berisi nasi dan lauk pauk beserta secarik kertas.

"Dia ngasih aku e-mail dan nomer handphonenya", kata Sam
"Yah, keliatan koq. Kamu tipenya. Cowok bule mana yang ngga suka sama cewek dengan kulit gosong hasil berjemur di pantai?"
Dia menggelengkan kepala lalu mulai makan, "saat mengambil makan dia bilang dia bertemu ibu dari anak-anaknya"
Aku tersedak dan bergegas minum air mineral yang sudah disediakan, "Terlalu jujur"
Sam tertawa.

Tidak disangka, hampir selama perjalanan kami bertemu dengan cowok bule itu. Namanya Marshall*.
"Jadi, kamu ke Bhutan dalam rangka apa?", tanyaku
"Liburan, aku lagi jenuh sama pekerjaan jadinya ke sini deh", jawab Marshall.
"Emangnya kamu kerja apa?"
"Kameramen sebuah acara travel bernama Amazing Race"
"APAH?! Kamu kameramen acara Amazing Race?!"
"Iyah, kamu tau acara itu?"
HELOOOOOOW! Itu acara banyak ditonton di negaraku. "Tentu saja aku tau, aku suka episode saat para peserta ke Jogjakarta, aku kira Indonesia tidak akan menjadi tujuan acara itu"
"Tidak mungkin, Indonesia itu bagus. Banyak tempat di negaramu yang harus dikunjungi, kecuali Jakarta"
JLEB...JLEB...JLEB. Lalu aku pura-pura pingsan -.-"

Saat di Phobjika, kami menginap di sebuah hotel berbentuk pondokan di sebuah bukit terpencil bernama Dewachen Lodge, yang mana penghangat kamar menggunakan.... TUNGKU! YEAY! Di luar kamar disediakan bertumpuk-tumpuk kayu bakar untuk digunakan sebagai penghangat kamar. Aku termasuk orang yang bisa tidur dengan suara TV menyala, sayangnya di hotel itu tidak ada TV. Aku mengobrol dengan Sam saat makan malam, dia menyarankanku untuk menonton film di laptop sampai merasa ngantuk dan aku menonton film Frozen untuk ketiga kalinya. Jam menunjukkan jam 11 malam dan akhirnya aku merasa mengantuk. Aku taruh laptop di atas meja di sebelah kasur, merasa aman karena api menyala dengan awetnya, siap menarik selimut lalu... MATI LAMPU!

Panik.

Aku langsung mengambil senter di koper. Ternyata senter yang ditulis di catatan perlengkapan dari National Geographic berguna juga.

Pergi ke luar kamar sambil memasang senter.

Semuanya. Gelap. 

Tidak ada penerangan sedikitpun di luar kamar hotel. 

Tak lama kemudian lampu menyala, aku berharap tidak akan mati lampu lagi tapi ternyata tidak. Begitu lampu mati untuk kedua kalinya, aku ngibrit ke kamar Sam, untungnya aku nanya nomer kamarnya saat makan siang, ternyata kamarnya tepat berada di bawah kamarku.

"Sam!", kataku sambil mengetuk pintu

"Siapa?!", kata Sam dari dalam

"Ini aku, Nuri"

Tak lama kemudian Sam membuka pintu kamarnya.

"Hai, kenapa? Koq keliatan panik?"

Menurut ngana?! Baru mau tidur terus mati lampu. Gimana akik ngga kaget dan panik?!"

"Aku paling takut sama kegelapan di kamar, boleh aku tidur di kamarmu?"

"Boleh! Masuk gih!"

"Sebentar, aku ambil kunci kamar dulu"

Kebetulan, kamar setiap peserta ekspedisi ada dua kasur berukuran sedang, karena Sam sendirian, aku minta tidur di kamarnya

"Kamu takut gelap?" kata Sam sambil tertawa

"Iyah. Jangan diketawain! Huhuhuhu"

"Bisa tidur ngga kalo gelap gulita kayak gini?"

"Kalo ada kamu kayaknya ngga, yang penting aku ngga sendirian"

"Ya udah, kamu tidur gih. Udah tengah malem, besok kita harus bangun pagi"

Selama dua malem kami menginap di Dewachen Lodge, aku tidur di kamar Sam dan kembali ke kamar sendiri saat subuh. Cuma karena takut mati lampu lagi. HASEUM.

Di hari terakhir, Mark jatuh sakit sehingga tidak ikut mendaki ke Tiger's Nest. Aku dan salah satu peserta, Dr. Judith Topilow, hanya bertahan hingga tea house, sekitar setengah perjalanan menuju Tiger's Nest. Kami bertiga makan siang di hotel yang sama seperti di hari pertama, Zhiwaling Hotel. Lagi-lagi aku ngomong dengan bahasa yang belepotan. Setelah yang lain kembali dari Tiger's Nest, aku mengobrol dengan Chris Reinier soal fotografi. Sejam sebelum makan malam, Chris mempresentasikan beberapa karyanya dan video di mana dia sky diving di atas gunung Everest. Bikin pengen khan? EMANG.

Di sela-sela presentasi, hal tidak terduga terjadi. Ngga. Ngga ada macan tau-tau masuk ke aula dan menerkam orang. Ngga. Tapi.... Mati Lampu! 

Aje gile. Zhiwaling Hotel yang berada di kota dan jauh lebih bagus dari Dewachen Lodge bisa mati lampu juga. Apes. Saat makan malem aku bilang ke Sam bahwa aku ingin tidur di kamarnya lagi dan dia memperbolehkan karena dia tau alasannya. Aku tidak langsung beranjak dari meja makan setalah makan malem karena Fiona, peserta dari Hong Kong dan Chris memintaku bercerita sedikit tentang agama Islam (Yang diawali dengan pertanyaan "Kenapa kamu pake penutup kepala, Nuri?") dan merekomendasikan tempat wisata di Indonesia. Percayalah, menjelaskan itu semua dengan bahasa Inggris yang pas-pasan itu lebih capek daripada lari 5km tanpa henti. ASLI. Sebelum mengakhiri percakapan setelah makan malam, Chris memintaku untuk memilih 20-30 foto yang aku ambil selama perjalanan untuk presentasi secara personal besok paginya. Presentasi secara personal buat fotografer National Geographic. Baiklah. Mencoba untuk tidak gugup tapi... *pingsan*

Jam menunjukkan jam 9 malam dan aku ingin tidur karena kelelahan mendaki. Aku melihat Sam di restoran lain di hotel sedang mengobrol dengan Marshall. Perasaan sempet ngga enak, dan merasa jadi "Kambing Conge" gangguin mereka kencan, Sam tetap mengajakku ke kamarnya karena sudah berjanji untuk "menampungku" di kamarnya.

"Lah Sam, itu kenapa Marshall ngikut ke kamar?", tanyaku

"Ada kesalahan teknis, harusnya Marshall dapet kamar malam ini, ternyata ngga. Jadi malam ini...", Sam membuka pintu kamarnya, "Dia tidur di kamarku"

HEEEEE?!

"Aku ngga apa-apa nih tidur di kamarmu?"

"Ngga apa-apa, aku udah janji khan sama kamu? Lagipula aku ngga tega sama kamu kalo nanti mati lampu lagi"

OH. OKAY.

Karena saat makan malem aku sudah pakai baju tidur, seharusnya aku tinggal rebahan, tarik selimut dan tidur begitu sampai di kamar Sam. Tapi karena eh karena kasur menghadap ke arah kamar mandi, Marshall yang tadinya di kamar mandi sedang sikat gigi, keluar-keluar cuma pakai celana boxer dan jubah handuk mandi yang (kayaknya) sengaja tidak dia ikat.

KYAAAAA! PERUTNYA SIX PACK, KAKAAAAAK! ITU PAHA KEMANA-MANA KAKAK! ITU ADA YANG MENONJOL KAKAK!

Setelah basa-basi yang ngga penting, dia langsung rebahan di sebelah Sam yang hanya memakai tank top dan hot pants. BAIKLAH!

Aku tidur membelakangi mereka karena sadar diri. Lampu sudah dimatikan, jendela dibuka sedikit karena suhu malam itu agak panas, yak! Mari tidur! Jam menunjukkan jam 11 malam.

Aku terbangun karena suhu malem itu tidak bisa ditoleransi, aku terbangun dan mendengar suara... desahan, dan ciuman.

Astaga. Mereka... make love?

SIANYING!

Karena tidak tahan dengan panasnya, aku perlahan-lahan menendang selimut lalu mereka berbicara dengan pelan. Berhenti. Lalu lanjut lagi.
ASTAGA! Serasa liat bokep secara live tapi audionya doank :)) *dikeplak*

Dalam hati aku ingin membalikkan tubuhku dan liat secara langsung, tapi yang ada malah bubar dan nanggung :))

Sam mendesah. Marshallpun mendesah. Lalu terdengar suara ciuman dan suara tarikan nafas yang cepat.

Tahan, Nuri. Tahan.

Aku lihat jam di handphone, jam menunjukkan jam setengah 1 malam dan mereka berhenti sekitar jam 2. Gilingan! Lama juga maennya -.-"

Udara kembali adem dan akupun bisa tidur lagi. Ajaib.

Paginya aku kembali ke kamar karena koper harus ditaruh di depan kamar sekitar jam 8 pagi. Aku hanya punya waktu sekitar 1,5 jam untuk mandi, berpakaian dan beberes koper. 

Semua beres. Koper ditaruh di luar. Aku berjalan menuju restoran hotel untuk sarapan.

"Hey Sam", sapaku ke Sam yang duduk di depanku

"Yo"

Aku mengecilkan volume suaraku, "Aku semalem denger suara aneh pas aku terbangun"

Sam nyengir, "Kamu denger?"

"Iya lah! Kenceng banget!", aku tertawa sambil memasukan sepotong buah ke mulutku

Ssssstttt, jangan kenceng-kenceng", lalu dia tertawa juga

"Lama juga yah mainnya"

Lalu dia tertawa lagi, "Kita bahas nanti lagi di bandara, okay?"

Aku menganggukkan kepala sambil mengunyah buah.

Sebelum berangkat ke bandara, Chris memanggilku untuk memulai presentasi. Setelah aku pilah dan pilih, aku hanya mendapatkan 17 foto yang menurutku bagus dan layak dijadikan bahan presentasi. Chris memberiku banyak masukan tentang teknik memotret yang aku punya, dan aku mencoba mengingatnya dengan baik. Tenyata, ada satu foto yang membuat dia kagum. Dia bilang, foto itu sempurna dan National Geographic banget. 

Dan aku kayak... "Ah, masa sih?"

Di akhir presentasi Chris bertanya, "Nuri, kamu ingin menjadi fotografer profesional?"

"Tentu saja. Aku masih memakai kamera dari kakakku dan tidak membeli yang baru karena aku ingin bisa memotret dengan kamera seadanya", jawabku

"Bagus. Aku melihat potensi dan bakat besar dalam dirimu dalam bidang travel photography...Kamu tau? Aku akan merekomendasikan kamu sebagai fotografer National Geographic yang tersebar di dunia. Bagaimana? Kamu mau? Kalau terpilih, kamu akan menerima penugasan dari pusat"

Bagaikan mimpi mendengar Chris mengucapkan kata-kata itu. Mimpi dari kecil, tidak disangka akan mendekati kenyataan.

"BENARKAH?!", kataku kaget

"Tentu saja, aku akan berbicara dengan orang pusat tentang kamu. Dengan senang hati aku akan merekomendasikan kamu"

"Aku mau! Terima kasih banyak, Chris. Menjadi bagian National Geographic Magazine adalah impianku dari kecil"

"Berterimakasihlah kepada dirimu sendiri karena kamu sudah berusaha untuk mencapai mimpimu itu, aku hanya membantu", kata Chris sambil tersenyum.

Aku mengucapkan terima kasih sekali lagi dan Chris pun meyakinkanku untuk memegang kata-katanya.

Malem terakhir ekspedisi kami habiskan di Novotel Suvarnabhumi International Airport dengan makan malem bersama. Hanya beberapa yang tersisa karena ada yang kembali ke negara asalnya di hari yang sama. Makan besar di restoran hotel karena kami tidak bisa memilih makanan selama di Bhutan. Lucu rasanya, dari yang tidak mengenal satu sama lain, di hari terakhir terasa seperti keluarga. 

Mungkin karena hal itulah aku suka traveling sendirian. Entah nantinya bakal bergabung dengan sebuah kelompok atau tidak, yang jelas bertemu dengan orang baru saat traveling itu... Menyenangkan.


(*) Nama disamarkan sesuai permintaan yang bersangkutan :p

Comments

Popular posts from this blog

What If We're Dating

Toleransi, Hati Nurani dan Akal Sehat.

Ketika Kita Sendiri yang Membuat Jalan Buntu