Natuna: Pulau Mungil di Utara Indonesia (Bagian Pertama)

Di tahun 2015, Ruang Berbagi Ilmu (RUBI) membawaku ke pulau Rote Ndao sebagai pemberi materi tentang Pengelolaan Taman Baca dan Perpustakaan, dan pulau Rote Ndao adalah pulau paling selatan di Indonesia. Nah, di tahun 2016 kemarin aku kembali berpartisipasi di program serupa tetapi sebagai dokumentator, lokasinya ngga kalah jauh dari Jakarta ke Rote Ndao, yaitu di Natuna, Kepulauan Riau. Untuk menuju Natuna, aku harus naik pesawat pagi dari Jakarta ke Batam, baru lanjut ke Natuna. Natuna adalah lokasi terakhir dari pelaksanaan RUBI 2016, kenapa aku memilih Natuna? Jawabannya sederhana: karena aku belum pernah ke sana. Aku baru tahu Natuna seperti apa setelah diberi tahu panitia lokal via Whatsapp group.

FYI. Sekitar 2 bulan lalu nama Pulau Natuna ramai diperbincangkan di media nasional, karena bapak presiden kita, Pak Joko Widodo yang entah kalian suka atau tidak, bertolak ke pulau tersebut untuk meninjau latihan TNI AU. Buat apa? Salah satunya adalah untuk menjaga laut yang berbatasan langsung dengan laut Tiongkok Selatan.

Oke, kembali ke pengalamanku mengikuti RUBI 2016 di Natuna. Dalam bepergian, ngga sial berarti  ngga ada cerita. Salah satu pesawat yang menuju ke Batam dan yang jamnya paling pas untuk menyambung ke penerbangan ke Natuna adalah pesawat Singa Udara. Demi niiiih, demi RUBI Natuna, aku ambil maskapai itu. There's no way back karena aku pengin ke sana, demi berkunjung ke pulau di utara Indonesia itu. Di bandara Soekarno-Hatta aku bertemu dengan relawan pemberi materi bernama Novena Gisela, cewek agak jangkung, berambut panjang dan berkulit putih. Aku memutuskan untuk tiba di Natuna beberapa hari lebih awal karena aku punya banyak waktu kosong, katakanlah aku sombong tapi memang begitulah kenyataannya, sebagai seseorang yang bekerja seenak jidat dan lebih banyak nganggurnya daripada kerjanya (baca: Freelance), aku bisa berangkat kapan aja asalkan... ada duitnya. PENTING ITUH! Dengan modal satu backpack 45L, satu backpack yeng lebih kecil dan kekhawatiran akan delaynya penerbangan kami yang mana kekhawatiran kami menjadi nyata, kami tiba di Batam dan bertemu dengan relawan lainnya.


Penerbangan dari Batam ke Natuna juga delay karena menunggu penerbangan kami tiba di Batam, merasa bersalah? Oh tentu tidak, apalagi si Singa Udara itu, udah pasti ngga ada rasa bersalahnya sama sekali. Sekali lagi, kalau bukan karena RUBI, aku ngga akan ambil maskapai itu. Oke cukup curhat soal maskapainya. Di Batam kami bertemu dengan Dona (cowok. Catet. COWOK), Lia, dan Raras, yang mana menjadi partner bepergianku ke Belitung setelah program ini berakhir. Kami berlima curi start untuk mengenal Natuna sebelum relawan lainnya datang dua hari berikutnya karena baru dapat cuti sehari sebelum pelaksanaan RUBI.



Dalam foto di atas, di belakang kami itu adalah Gunung Ranai. Langit biru, cuaca cerah berawan, begitu turun liat gunung segitu jelasnya... NIKMAT TUHAN MANA YANG KAU DUSTAKAN. KAWAN-KAWAN? Hayooo, yang pengin liburan tapi cuti ngga disetujui ama pak boss pasti makin kepengin liburan, NGAKU! *mau pake kata "sirik", aku khawatir bakal dibilang tengil. EHE* Setelah mengambil bagasi, disambut oleh panitia lokal, dan menaruh barang di penginapan yang juga memiliki restoran bernama Sisi Basisir, kami pergi ke Taman Batu Alif (Alif Stone Park), salah satu lokasi wisata populer di Natuna.

 Buat yang OCD, sabar yah ngeliat foto di atas ini karena agak miring sedikit, sedikiiiit aja. Dan kurang lebih seperti itulah pemandangan laut yang kami liat dari salah satu sudut Taman Batu Alif (Alif Stone Park).

Terima kasih Raras yang udah ngambil foto ini meskipun posenya kayak lagi garuk kepala padahal mah emang iya.


Itu Gisel, temen sekamar sekaligus teman menggila sejak di RUBI sampai sekarang. Oh iya, tolong abaikan tanganku yang kurus sambil memegang kamera itu!

Sebagai orang kelahiran Jakarta, besar di Sidoarjo dan mengabiskan 7 tahun di Jatinangor untuk kuliah *iya, aku kuliah selama 7 tahun. Lama khan? Jangan ditiru yah*, aku seneng banget bisa melihat pantai dan laut, aku menikmati momen ini sebisa mungkin, apalagi di program ini aku punya temen berpetualang rame-rame, dan aku beruntung punya Gisel sebagai teman sekamar karena otak kami sama-sama gesreknya (baca: mulut ngga bisa dikontrol).

Kamar tidur yang kami tempati pun sederhana, di malam hari kami bisa mendengar suara ombak tapi terdengar jelas di kamar mandi, jadi pas mandi malam agak-agak horor gimanaaaaa gitu.

Dua hari pertama dilewati oleh kami berlima, nah setelah rombongan berikutnya datang, ramenya ngga karuan. Mau tau gimana ramenya?

Bersambung ke bagian dua ya.... :3


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

What If We're Dating

Toleransi, Hati Nurani dan Akal Sehat.

Ketika Kita Sendiri yang Membuat Jalan Buntu