Bhutan Expedition: Ta Dzong

Kalau aku menyebut “Bhutan”, beberapa dari temenku akan mendengar kata “Hutan”. Yah, beda tipis sih terdengarnya tapi di Bhutan, sebuah negara di sebelah timur Nepal ini tidak memiliki banyak hutan. Sesuai dengan cerita dari travel guideku, bernama Sha Purba (biasa dipanggil Sha), Bhutan memiliki banyak kuil Buddha… dan biksu, pastinya. Ya iya lah, ada kuil masa ngga ada biksu.

Weits, sebelum memulai cerita perjalananku selama di Bhutan, aku mau cerita sedikit bagaimana aku bisa traveling ke Bhutan. Kenapa Bhutan? Karena aku udah pernah ke London #digampar. Jadi begini, pada dasarnya aku paling suka bepergian ke kota dan pedesaan karena bisa berkomunikasi dengan orang lokal meskipun bahasanya tidak sama dan terkadang membuat kita harus menggunakan bahasa tubuh. Nah, setelah berkutat dengan peta dunia dan website travel guide semacam Lonely Planet dan National Geographic, rasa penasaranku tertuju pada sebuah negara yang memiliki gambar seekor Naga di benderanya meskipun aku ngga tau itu naga jantan atau betina. Kemudian aku mendengar ada sebuah ekspedisi yang bertujuan ke Bhutan. Sempat ragu pada awalnya, tapi kita ngga bakalan tahu kalau ngga mencobanya khan?

Di twitter dan instagram, catatan perjalanan ini aku beri tagar #BhutanExpedition biar aku sendiri gampang mencari informasi yang udah aku sebar di dunia maya. Tapi aku mencoba untuk bercerita lebih lengkap di sini. Perlengkapan fotografiku di #BhutanExpedition adalah dua body kamera dan empat lensa. Lensa 35mm, 50mm, 24-70mm dan 80-200mm. Banyak? Oh jelas. Namanya juga ekspedisi fotografi. Angkut aja yang sekiranya dibutuhkan, masalah dipakai atau ngga mah liat nanti. Karena kamu ngga bisa kembali ke rumah untuk mengambil lensa lalu kembali lagi ke Bhutan.

Di ekspedisi ini aku berkesempatan untuk bertemu dan hunting foto bareng Chris Rainier, fotografer National Geographic selama 30 tahun. Buat dia, ini adalah kunjungannya ke Bhutan yang kesepuluh. Sedangkan buatku? Udah pasti yang pertama. Selain Chris, aku bertemu banyak orang baru. Dan dugaanku benar, aku yang termuda dan terkecil (badannya). Mau ngga mau, aku berkomunikasi dengan bahasa Inggris dalam perjalanan ini. Sempet panik karena bahasa Inggrisku dalam percakapan ngga bagus, untungnya mereka memakluminya. Total peserta ekspedisi ada 16 orang termasuk aku, dan beberapa diantaranya sudah pernah ke Indonesia. Eerrr… Jakarta, lebih tepatnya. Pendapat mereka sama, MACETNYA JAKARTA LUAR BIASA. Salah satu dari mereka pernah melewatkan rapat penting karena terjebak macet. Hanya Chris yang memiliki cerita yang berbeda. Dia sudah pernah ke beberapa tempat di Indonesia, dia ke Aceh, Padang, Flores, Pulau Komodo dan Bali. Dia bercerita bahwa, empat hari setelah kunjungannya ke Aceh, tsunami datang dan menghancurkan hotel di mana Chris menginap sebelumnya. Dan dalam beberapa bulan lagi dia akan kembali ke Indonesia untuk mengerjakan sebuah proyek fotografinya.


Chris Reinier, Fotografer National Geographic



Kembali ke cerita selama di Bhutan...

Beberapa kali aku melihat video di YouTube tentang pariwisata Bhutan, dari melihat beberapa video di YouTube aku udah bisa membayangkan seperti apa Bhutan itu. Awalnya aku mengira Bhutan seperti Jatinangor atau Sukabumi menjadi sebuah negara. Bukit di mana-mana, beberapa toko bisa dicapai dengan mudah dari hotel yang aku tempati serta makanan yang siap disambut hangat oleh lambung dan organ pencernaan lainnya. Nyatanya? Memang benar ada bukit di mana-mana, tetapi tidak dengan toko yang bisa dicapai dengan mudah dan makanan yang siap disambut hangat oleh lambung dan organ pencernaan lainnya. Dari satu kota ke kota lain, minimal membutuhkan waktu 2 jam dengan mobil. Iyah, 2 jam. Udah kayak dari Jakarta ke Bandung lewat tol. Dan di Bhutan tidak ada kereta. Selama perjalanan dari satu tempat ke tempat lain yang aku lihat hanyalah bukit, awan, langit biru, segerombolan biksu muda berjalan setelah dari kuil dan… Yack, kuda dan sapi, pastinya. Ngga usah dibayangin kalau kalian sering liat e*k kuda di depan kampus ITB. Beda tipis koq “ranjau darat”nya. Sedikit cerita, nama “Bhutan” berasal dari sansekerta “Bhu-uttan” yang memiliki arti “daratan tinggi”. Pada awalnya penjelajah asal Inggris memberi nama Bootan atau Bhotan. Semenjak abad ke-13, negara itu diberi nama Druk Yul atau “Daratan Naga Petir” dan penduduknya menyebut diri mereka, Drukpa.

Hari pertama di Bhutan, tanggal 11 Maret 2014, aku disambut oleh udara dengan suhu sekitar 6 derajat Celcius. Meskipun aku pernah tinggal di Jatinangor selama 7 tahun dan merasa sudah kebal dengan udara dinginnya, tetap saja kedinginan.

Aku dan peserta ekspedisi terbang menuju Paro, Bhutan dengan sebuah maskapai nasional negara Bhutan bernama Druk Air, yang mana Druk dalam bahasa resmi Bhutan, Dzongkha (Zong’kha) memiliki arti “Naga”. Dzongkha adalah bahasa Sino-Tibetan yang dibawa ke Bhutan oleh pergerakan imigran dari Tibet sekitar abad ke-8, bukan abad ke-21. Kalau abad ke-21, yang bawa bahasanya adalah Krisdayanti (Angkatan 90an pasti tahu maksudnya). Dzongkha adalah bahasa utama yang digunakan di bagian timur negara, tetapi banyak perbadaan bahasa dan dialek yang bisa ditemukan di Bhutan. Bahasa Inggris diajarkan di sekolah. Menu makanan dan petunjuk dalam bahasa Inggris dapat ditemukan di Bhutan. Rambu-rambu jalan dan dokumen pemerintah ditulis dalam bahasa Dzongkha dan bahasa Inggris, dan koran nasional, Kuensel, diterbitkan dalam bahasa Dzongkha, bahasa Inggris dan bahasa Nepal.

Sekitar jam 6:50 pagi kami berangkat dari bandara Suvarnabhumi, Bangkok, kemudian kami tiba di Paro, Bhutan sekitar jam 9:50 pagi (Jakarta atau Bangkok hanya berbeda 1 jam lebih cepat dari Bhutan), sekitar 4 jam di udara termasuk transit di Dhaka, Bangladesh. Sebelum lepas landas, Chris mengatakan bahwa kami dapat melihat pemandangan luar biasa dari sisi timur pegunungan Himalaya termasuk Kanchenchunga (gunung tertinggi ketiga di dunia) dan pemandangan tersebut hanya bisa dilihat dari sisi kiri pesawat. Dan aku dapat tempat duduk di sebelah kiri pesawat, tepatnya di samping jendela. Jadi aku bisa melihat pemandangan luar biasa itu.




“Nuri, do you feel cold?”, tanya salah satu peserta ekspedisi, sebut saja namanya Reid. Bukan Tara Reid maupun The Reid film yang dibintangi Iko Uwais *Itu The Raid, Nuri*.

“Yes”, jawabku dengan tatapan “Menurut lo?!”

“Really? How come?”, tanyanya lagi

“Reid, I was born and raised in tropical country, which the lowest temperature in my city, EVER, is about 16 until 18 degrees Celsius”

“Uumm, I’m sorry. How many degrees it that in Fahrenheit? Because I’m American”

Udah kedingingan, disuruh ngitung pula. Boleh nangis? Atau setidaknya tepok jidat? Oke sip!

“Hhhmmm…. It’s about 50s or 60s degrees Fahrenheit, I guess”, jawabku dengan sabar.

“That’s warm enough! I’ll be sweating all day if I were you in that weather”, balasnya.

Auk ah -.-“

Seminggu sebelum berangkat, aku dapat pemberitahuan via e-mail bahwa Bhutan mengalami badai salju yang sangat hebat. Jadi udara di Bhutan gampang dingin dan gampang panas pula, mirip-mirip ama meriang gitu lah.



Baiklah, dari cuaca aku sudah bisa memperkirakan bakal seperti apa perjalananku di Bhutan selama 8 hari. Bahasa? Tidak ada kendala karena guide kami pandai berbahasa Inggris. Makanan? Nah, di beberapa artikel menyebutkan makanan di Bhutan tidak jauh dari makanan bersantan seperti makanan India *lalu aku ngebayangin masakan padang dan aku tau itu salah*, banyak sayur mayur dan makanan untuk tamu atau turis cenderung tidak pedas. Garis bawahi. Tidak pedas. Mengingat Bhutan adalah negara seadanya yang sudah memakai toilet duduk yang bersih dengan air lancar, layaknya di rumah, seharusnya makanan pedas tidak menjadi masalah. Eh, masalah dink. Karena toilet duduk yang bersih dan nyaman seperti di rumah tidak ada di toilet umum di Bhutan. Solusinya? Buang air kecil di sungai atau pergi ke toilet umum di tempat objek wisata, nah kalo itu udah pasti bersih dan air maupun tissue selalu tersedia.

Setelah menaruh barang dan makan siang di hotel bernama Zhingwa Ling Hotel, kami semua berangkat mengunjungi Ta Dzong (Dzong artinya benteng pertahanan) yang dulu digunakan sebagai pelindung Bukit Paro dari serangan orang-orang Tibet. Dzongs biasanya memiliki tiga tujuan: Pertahanan, pusat administrasi dari pemerintah lokal dan pusat kegiatan religius para biksu.






Saat mengunjungi Ta Dzong, aku sempat dipantau oleh petugas keamanan di depan pintu masuk.

“Hey you!”, seru salah satu petugas keamaan sambil menunjuk ke arahku

“Me?”, tanyaku

“Yes you! If you want to visit this Dzong, you have to put off your veil”

Lalu gue melongo, butuh beberapa detik untuk mencerna peringatannya

“Put off your veil please, miss!”, lanjutnya.

Lalu aku menaiki anak tangga dan berdiri persis di hadapannya

“I’m a Moslem, so I can’t put off my veil. Is that okay?”, kataku dengan rasa deg-degan.

Lalu dia berdiskusi dengan temannya yang merupakan penjaga Ta Dzong, dalam bahasa Dzongkha. Tak lama kemudian dia bilang, “Okay, you can enter Ta Dzong. I’m apologize for being impolite”

“That’s okay, sir. Thank you.”, lalu aku merasa lega dan melangkah masuk ke dalam Ta Dzong.

Dan seperti inilah tampak dalam Ta Dzong:








Setelah mengunjungi Ta Dzong, kami mengunjungi Kyichu Lhakhang (Lhakhang artinya "kuil"). Kyichu merupakan salah satu kuil tertua di Bhutan. Dahulu, raja memiliki keinginan untuk membangun 108 kuil Buddha dalam hidupnya.

Comments

  1. amazing. your photo tells thousands story. :)

    ReplyDelete
  2. Nuri, jelaslah kamu teteuup kedinginan sedingin-dinginnya Nangor ga bakalan sampe 6 derajat juga hahahahaha,

    btw suka banget sama foto2 landscape yg akhir-akhir ga tau kenapa aku ngerasanya kayak di Korsel gitu :)

    ihiiyyy dapet ilmu dan pengalaman yg banyak bangeeeet yah pasti dari ekspedisi ituuu aku juga mau ikutan ekspedisii *pengiriman barang maksud lo mei?*

    ReplyDelete
  3. Lhakhang (dlm bahasa jawa artina selangkangan) -________________-

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

What If We're Dating

Toleransi, Hati Nurani dan Akal Sehat.

Menantang Raga Mungil untuk Coldplay di Sydney